Fadli Zon Kritik Sikap Lemah Pemerintah Indonesia Terkait Masalah Muslim Uighur

Selasa, 17 Desember 2019 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Anggota Komisi 1 DPR Fadli Zon mengkritik sikap lemah pemerintah Indonesia terkait masalah muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok.

Dia mengatakan saat ini Indonesia adalah anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB dan meminta pemerintah Indonesia ambil langkah yang lebih progresif terkait masalah muslim Uighur.

Baca Juga

Muhammadiyah Bantah Tudingan Disuap Tiongkok Soal Minoritas Muslim Uighur

"Sejauh ini saya melihat Indonesia baru menyampaikan sikap mengenai Uighur hanya melalui forum bilateral dengan Cina. Saya kira sikap ini tidak cukup. Untuk mewujudkan politik luar negeri bebas aktif, Pemerintah perlu mengambil sikap lebih progresif mengenai hal ini," ucap Fadli kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/12).

Wakil Ketua DPR Fadli Zon. (MP/Ponco Sulakosono)
Anggota DPR Fadli Zon. (MP/Ponco Sulakosono)

Dia menilai ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, kata Fadli, dia menilai pemerintah RI bisa mendorong China untuk mengedepankan dialog dengan kelompok moderat di Xinjiang guna memberi otonomi lebih luas dalam hak beragama dan berbudaya.

"Kita paham jika soal Muslim di Xinjiang ini adalah masalah yang kompleks, bukan hanya isu keagamaan, tapi juga masalah politik, ekonomi dan budaya. Sehingga, pemerintah China perlu membuka pintu dialog dengan banyak kamar agar tersedia resolusi damai atas konflik yang selama ini berlangsung," ucapnya.

Langkah kedua, katanya, Indonesia harus mendorong China melibatkan publik dan organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah muslim Uighur. Menurutnya, China bisa menjadikan negara-negara muslim yang dipercaya China sebagai perantara dialog untuk menyelesaikan masalah di Xinjian secara dialogis.

Baca Juga

Disebut Terima Dana Agar Bungkam Soal Uighur, Muhammadiyah Justru Tuding Tiongkok Langgar HAM

"Saya kira, isu-isu itu perlu didialogkan pemerintah Indonesia kepada China. Jangan lupa, ikut menciptakan perdamaian dunia adalah salah satu amanat konstitusi kita," jelas dia.

Fadli pun mengingatkan soal garis politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif. Dia berharap Indonesia tak menjadi perpanjangan tangan dari pihak yang sedang terlibat propaganda.

"Dalam kasus ketidakadilan yang dialami oleh kaum muslim Uighur, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sangat wajar jika dunia memperhatikan bagaimana sikap Indonesia. Saya sendiri sejak lama telah mendorong munculnya sikap tegas pemerintah Indonesia atas isu ini. Pemerintah terkesan bisu menghadapi isu Uighur dan Rohingya," ucapnya.

Waketum Gerindra menyinggung laporan The Wall Street Journal (WSJ) yang menyebut ada upaya China untuk membujuk sejumlah organisasi Islam, media hingga akademisi di Indonesia untuk bungkam atas dugaan persekusi muslim Uighur lewat ajakan tur ke Xinjiang.

“Tuduhan itu tentu saja bersifat sepihak sehingga masih perlu dibuktikan kebenarannya. Di sisi lain kita menaruh prasangka baik bahwa ormas-ormas Islam di Indonesia tak akan menggadaikan integritas dan solidaritasnya hanya demi sumbangan. Apalagi, mereka sendiri telah membantahnya,” kata Fadli.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengatakan, bahwa saat ini propaganda saling menjatuhkan antara Amerika Serikat (AS) dan China sedang terjadi. Dia mencontohkan adanya surat terbuka dari 22 duta besar untuk PBB kepada Dewan HAM yang mengecam perlakuan China terhadap muslim Uighur di Xinjiang.

Etnis Uighur. AP/Elizabeth Dalziel
Etnis Uighur. AP/Elizabeth Dalziel

Surat itu ditandatangani para diplomat yang sebagian besar berasal dari Eropa, termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Mereka mendesak China untuk segera menghentikan penahanan warga etnis minoritas Uighur dan memberi mereka kebebasan beraktivitas.

"Sebagai diplomat mereka memilih untuk menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk surat terbuka, dan bukannya resolusi resmi, karena meyakini setiap upaya melahirkan resolusi atas nasib kaum muslim di Xinjiang akan segera dihalangi oleh China,” ucapnya.

Baca Juga

Muhammadiyah Merasa Difitnah Soal Pemberitaan Uighur

Dia kemudian menyebut muncul surat pembelaan terhadap China yang diteken diplomat dari 37 negara, antara lain Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Aljazair, Korea Utara, Filipina, hingga Zimbabwe.

“Alih-alih mengecam China, mereka justru memuji prestasi luar biasa China di bidang hak asasi manusia. Perang propaganda semacam ini belakangan kembali lazim terjadi,” tutur Fadli. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan