Efek Mengerikan Gangguan Depersonalisasi, Kecanduan Gawai dan Sosmed

Selasa, 18 Januari 2022 - Iftinavia Pradinantia

DIGITALISASI, khususnya perkembangan sosial media, sejatinya diciptakan untuk tujuan sosial. Namun pada akhirnya, itu justru membuat orang jadi anti sosial. Perangkat berbasis digital dapat membuat seseorang merasa hampa.

Mereka tampak menjalani hidup seperti robot. Orang-orang dengan jiwa yang hampa semacam itu terindikasi mengalami gangguan depersonalisasi. Berikut gejala umum gangguan depersonalisasi.



Tidak memperhatikan tubuh

Tidak peduli fisiknya
Orang dengan depersonalisasi sering merasa dirinya seperti manekin daripada manusia. (Foto: Pexels/Kat Smith)


Dalam sebuah penelitian terhadap pasien yang didiagnosis dengan gangguan depersonalisasi, psikolog menemukan korelasi yang signifikan antara ukuran kesadaran dan gejala depersonalisasi, depresi, dan kecemasan. Orang dengan gangguan depersonalisasi cenderung berhenti memperhatikan bentuk fisik sendiri, otot-otot serta organ-organnya yang luar biasa kompleks.

Orang dengan depersonalisasi sering merasa dirinya seperti manekin daripada manusia. Para peneliti percaya bahwa kesadaran diri dapat berfungsi sebagai komponen berharga dalam pengobatan gangguan tersebut. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan sebagai terapi misalnya, memijat sendiri, meditasi dan lain sebagainya.



Cenderung menekan emosi

fisik
Ada kemungkinan bahwa orang dengan gangguan ini mungkin tidak mampu merasakan emosi khas yang dimiliki orang normal. (Foto: Pexels/Khoa Vo)


Ketika ada amarah yang timbul, tidak ada yang akan mengetahuinya. Mereka melihatmu tetap tenang. Walaupun hatimu dipenuhi amarah, kata-kata kasar, dan membuat jantung berdebar kencang, kamu mengabaikannya. Itu dsebut hypoemotionality.

Hypoemotionality adalah ekspresi emosi yang kurang pada orang dengan gangguan depersonalisasi. Orang-orang dengan gangguan depersonalisasi dapat dengan sengaja menekan respons emosional mereka. Ada kemungkinan bahwa orang dengan gangguan ini mungkin tidak mampu merasakan emosi khas yang dimiliki orang normal. Mungkin juga mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka merespons secara fisiologis terhadap suatu stimulus.

Para peneliti yang mempelajari gangguan depersonalisasi dan respons emosional menemukan bahwa kemampuan untuk mengatur emosi pada partisipan yang mengalami depersonalisasi meningkat. Dengan kata lain, orang-orang yang mengalami depersonalisasi sangat pandai dalam mengatur tekanan darah dan detak jantung mereka. Mereka menenangkan diri dengan cepat.

Pasien yang mengalami depersonalisasi tidak dapat meningkatkan detak jantung mereka walaupun mereka mencoba. Sebaliknya, mereka dapat menurunkannya. Penemuan ini memberikan harapan bagi orang-orang yang merasa mati rasa karena jika mereka dapat belajar merespons emosi secara fisiologis, mereka juga dapat meningkatkan kesehatan mental mereka.



Tampak tidak nyata

gangguan
Lingkungan sekitarnya tampak tidak nyata (Foto: Pexels/Yaroslav Shuraev)


Orang yang mengidap gangguan depersonalisasi melakukan rutinitas harian dengan autopilot. Ketika sedang menjalani aktivitas sehari-hari, mereka tampak seperti sedang menonton film, tidak menjalani peristiwa dalam hidupnya secara langsung. Jika kamu merasa seperti sedang menonton saluran Youtube-mu sendiri, itu bisa menjadi salah satu tanda depersonalisasi.

Baca Juga:

Tips dari Dokter Kulit untuk Kulit Wajah Lebih Sehat di 2022



Sedikit tertekan

orang
Orang dengan gangguan depersonalsasi mungkin mati rasa terhadap perasaan sedih yang sebenarnya. (Sumber: Pexels/Inzmam Khan)

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, orang dengan gangguan depersonalisasi akan menekan emosinya. Sekilas hal tersebut tampak baik karena mengindikasi emosi yang stabil. Padahal, emosi yang ditekan justru dapat menjadi episode depresi besar. Orang dengan gangguan depersonalsasi mungkin mati rasa terhadap perasaan sedih yang sebenarnya.



Toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit

vova
Mati rasa fisik maupun emosional mungkin terjadi pada orang yang merasa terpisah dari tubuh mereka. (Foto: Pexels/Ron Lach)


Mati rasa sering dikaitkan dengan depersonalisasi. Kamu mungkin benar-benar menjadi pahlawan super dalam hal toleransi terhadap rasa sakit. Ini mungkin tampak seperti hal yang baik, tetapi normal bagi manusia untuk mengalami rasa sakit.

Mati rasa fisik maupun emosional mungkin terjadi pada orang yang merasa terpisah dari tubuh mereka. Mereka mungkin dapat mengangkat lebih banyak beban di gim, berlari meskipun mengalami cedera, atau menepisnya ketika pergelangan kaki mereka terkilir saat bermain basket. (avia)

Baca Juga:


Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan