DPR Harus Rampungkan RUU Prioritas Sesuai Target
Selasa, 31 Agustus 2021 -
MerahPutih.com - Rapat Paripurna DPR RI pada 23 Maret 2021 menyetujui 33 RUU masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2021. Dari jumlah itu, 21 RUU di antaranya merupakan usulan DPR, 10 RUU usulan Pemerintah, dan 2 RUU usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Namun, empat bulan mendekati akhir 2021, ada beberapa RUU dalam prolegnas prioritas tahun ini yang belum rampung dibahas, di antaranya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Data Pribadi, dan RUU Badan Usaha Milik Desa.
Baca Juga:
RUU KUP Yang Jadi Dasar Kenakan PPN Bagi Bahan Pokok Disahkan Tahun Depan
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memenuhi komitmennya menyelesaikan seluruh rancangan undang-undang dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.
Peneliti Formappi M Djadijono ragu DPR mampu merampungkan atau mengesahkan seluruh RUU yang ditetapkannya sendiri dalam prolegnas prioritas. Padahal, kata “prioritas” pada prolegnas prioritas merupakan target kerja DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasinya dan tercapainya target itu akan jadi salah satu penilaian publik pada kinerja DPR RI.
"Kata prioritas saya tekankan lebih berat karena itu jadi program utama DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. Oleh karena itu, prioritasnya disebut, tetapi hasilnya selalu tidak mencapai target yang diprioritaskan," ujar Djadijono.
Ia pun menilai DPR perlu memahami lebih lanjut arti kata “prioritas” pada prolegnas prioritas. Pimpinan DPR RI, termasuk pimpinan Badan Legislasi DPR selalu mengakui kesulitan mengesahkan seluruh RUU pada prolegnas prioritas. Namun, Formappi menolak alasan ketidakmampuan itu, yang salah satunya turut disebabkan oleh mangkirnya perwakilan Pemerintah pada rapat-rapat pembahasan RUU.
"Pendapat semacam itu menurut kami salah kaprah, bahkan menyalahi amanat Undang-Undang Dasar 1945 karena Pasal 20 ayat 1 (menyebut) kewenangan membentuk undang-undang ada pada DPR, sebaliknya pada ayat 5 ayat 1 Presiden berhak mengajukan RUU pada DPR,” sebut Djadijono.

Ia mengingatkan, Undang-Undang No.2 Tahun 2018 turut mengatur DPR punya kewenangan memanggil tiap warga negara dalam rapat-rapat DPR. Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2 UU No.2/2018 menyebut DPR berhak memanggil tiap orang secara resmi lewat undangan tertulis dalam rapat-rapatnya.
"Tiap orang (yang dipanggil) itu wajib memenuhi panggilan (DPR)," kata Djadijono.
Ia menerangkan kata “tiap orang” dalam undang-undang itu turut mencakup para menteri dan DPR punya posisi kuat memanggil menteri-menteri yang ditugasi Presiden mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU dan penyelesaian tiap RUU.
"Alasan tidak tercapai prolegnas prioritas karena menteri sering mangkir itu tidak bisa langsung diterima karena ada aturan-aturan yg dalam tanda kutip memaksa menteri hadir," ujarnya dikutip Antara. (*)
Baca Juga:
RUU Persetujuan Asean dalam Perdagangan Elektronik Dibawa ke Paripurna DPR