DKPP Ungkap 31 Perkara Politik Uang di Pemilu dan Pilkada 2024, Perlunya Sinergi Kuat dari Bawaslu hingga KPU
2 jam, 37 menit lalu -
MerahPutih.com - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, lembaganya telah memeriksa dan menyidangkan 31 perkara terkait politik uang pada tahapan pemilu dan pilkada 2024.
Ratna Dewi mengemukakan hal itu saat diskusi dengan wartawan dalam kegiatan Media Gathering DKPP yang diadakan di Kabupaten Serang, Banten, Kamis (20/11) malam.
“Politik uang menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi kita bersama, 31 perkara yang masuk ke kami cukup lumayan tinggi untuk demokrasi kita,“ ucapnya.
Menurut Ratna Dewi, politik uang adalah kejahatan yang luar biasa sehingga pendekatannya juga harus luar biasa. Bukan hanya dengan instrumen hukum, tetapi juga melalui pendekatan etika, dengan membangun sense of ethics dan sense of crisis di kalangan penyelenggara pemilu.
Baca juga:
TII Rekomendasikan 7 Penguatan Demokrasi, Termasuk Pemisahan Jadwal Pemilu
“Efek jera itu bukan semata-mata soal vonis pidana, tetapi bagaimana kita memperbaiki pemilu dan meminimalkan kecurangan dalam demokrasi kita,” ujarnya.
Ia menambahkan, DKPP tidak memeriksa politik uang dari sisi pidananya. Namun, fokus pada cara kerja KPU dan Bawaslu dalam menangani kasus-kasus tersebut.
“Kita menilai apakah KPU dan Bawaslu bekerja secara profesional, adil, dan memberikan keadilan bagi para pelapor. Kalau kerja-kerja itu dinilai tidak profesional, atau pelapor merasa tidak mendapatkan keadilan, barulah hal tersebut bisa dilaporkan ke DKPP,” terangnya.
Ratna Dewi mengaku, bahwa penyelenggara yang terlibat langsung pada perhelatan pemilu dan pilkada 2024, kerap dinilai belum optimal dalam menangani politik uang. Padahal, secara normatif undang-undang sudah secara jelas dan tegas mengatur larangan politik uang.
Baca juga:
KPK Pelajari Putusan DKPP Usut Pengadaan Pesawat Jet Pribadi KPU RI
Tantangannya, praktik di lapangan sering kali terstruktur, sistematis, dan masif, sementara regulasi masih membatasi subjek yang dapat dipidana, seperti peserta pemilu, tim kampanye, dan tim pelaksana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.
Lebih jauh ia mengingatkan, kerja-kerja penanganan politik uang harus dilihat dengan kacamata yang lebih besar, yaitu kacamata etika dan kualitas demokrasi.
Tanpa perspektif etika, upaya penindakan hanya akan bersifat administratif dan jauh dari tujuan menghadirkan demokrasi yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat.
Jadi, Ratna Dewi menilai perlu sinergi kuat antara Bawaslu, KPU, DKPP, dan aparat penegak hukum seperti kepolisian agar politik uang benar-benar dapat ditekan dan kepercayaan publik terhadap pemilu tetap terjaga. (Pon)