Desain APK Pemilu Indonesia, Dari Kalimat Puitis Sampai Gaya Kartunis
Selasa, 02 Januari 2024 -
"SANTUN, Tidak Korupsi, Sudah Pasti". Begitu tulisan yang tersua dalam alat peraga kampanye (APK) calon legislatif Eriko Sotarduga dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Jakarta Selatan.
Pesan itu juga dilengkapi wajah karikatural Eriko. Eriko naik bajaj biru bersama Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Capres dan Cawapres PDIP.
Desain spanduk Eriko tampak lain bila dibandingkan mayoritas desain caleg yang masih menggunakan pakem lama: wajah tersenyum cerah seolah mampu memberikan masa depan terang bagi pemilihnya, deretan gigi rapi yang mungkin hasil editing Photoshop, pakaian necis, dan atribut keagamaan atau kebangsaan.
APK spanduk karikatural Eriko punya banyak versi. Ada yang versi detektif, pesepeda gunung, pesilat Betawi, penyanyi, pemain tanjidor (alat musik Betawi), dan orang Jawa yang mengenakan blangkon.
Merahputih.com mencoba menghubungi tim Eriko untuk menanyakan ide di balik desain itu. Namun, hingga artikel ini tayang, belum ada tanggapan dari tim Eriko.
Spanduk Eriko memenuhi berbagai ruang di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Ia bersaingan dengan spanduk rekan separtainya, Masinton Pasaribu.
Saking banyaknya APK dua caleg itu, seorang warganet berakun @numpangngobrol di X membuat celetukan jenaka. "Masinton Pasaribu dan Eriko Sotarduga kayaknya bukan nyapres, tapi jadi patokan jalan."
Baca juga:
Penerapannya seperti ini. Bayangkan situasi ketika seseorang bertanya ke orang lain tentang suatu tempat.
"Permisi, Pak, boleh tanya tempat A di mana?"
"O, ini kamu lurus saja, setelah ketemu empat spanduk Eriko, belok kiri."
Tiap pemilu, sejak sistem proporsional terbuka diberlakukan pada Pemilu 2004, caleg mulai berkampanye lewat APK dengan foto dirinya. Hingga bikin bosan banyak orang.
Sudah desainnya membosankan, peletakan APK-nya pun sembarangan. Ada sebutan untuk aktivitas macam ini: sampah visual.
Azka Abdi Amrurobbi dalam "Problematika Sampah Visual Media Luar Ruang: Tinjauan Regulasi Kampanye Pemilu dan Pilkada" mengartikan sampah visual sebagai "Sebuah aktivitas kampanye yang dilakukan oleh kandidat, pasangan calon, atau tim kampanye dengan cara pemasangan iklan ataupun promosi baik berupa poster, baliho, dan bentuk lainnya yang dipasang secara berlebihan."
Meski banyak yang menjadi sampah visual, beberapa desain dan muatan APK dapat pula menjadi catatan atau dokumen sejarah untuk menggambarkan suasana zaman ketika pemilu berlangsung.
Dalam Pemilu 1955, pemilu pertama di Indonesia untuk memilih anggota Parlemen dan Dewan Konstituante (pembuat UUD baru), tak ada caleg yang mempromosikan diri lewat APK.
Sebab, pemilu kala itu menggunakan sistem proporsional tertutup. Sistem ini memberikan partai politik kendali yang kuat untuk menentukan caleg.
Dalam sistem ini, pemilih tak perlu mencoblos para caleg parpol. Parpollah yang menentukan siapa caleg yang akan mewakili parpol sesuai urutan internal di parpol.
"Partai organisasi, 'perkumpulan pemilih', dan perorangan berhak mengajukan diri sebagai calon anggota Parlemen dan Konstituante, tetapi setiap calon harus didukung dengan tanda-tangan pemilih yang terdaftar, 200 tanda tangan untuk calon pertama dalam suatu daftar dan 25 untuk setiap calon lainnya," terang Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955.

Karena peran parpol yang dominan dalam menentukan caleg, maka materi kampanye lebih berat kepada program parpol ketimbang calegnya. Begitu pula dengan muatan APK pemilu kala itu. Parpollah yang justru mengampanyekan calegnya, bukan sebaliknya.
"Tokoh-tokoh partai, yang dipilih untuk ditonjolkan dalam kampanye, mengikuti urutan nama mereka dalam daftar calon untuk masing-masing daerah pemilihan... partai-partai menempatkan pemimpin tunggal pada tempat teratas dalam daftar calon... menonjolkan pribadi pemimpin yang bersangkutan," tambah Feith.
Tiap parpol harus mempunyai tanda gambar masing-masing untuk membedakan dari parpol lainnya. Lantaran 80 persen rakyat Indonesia masih buta huruf latin, desain APK pun memberi ruang lebih pada tanda gambar ketimbang pesan-pesan tulisan.
Tanda gambar itu dipasang di jalan-jalan kota dan desa, rumah-rumah pribadi, bangunan umum, bus-bus, pohon-pohon, iklan-iklan di bioskop, kalender, dan lampu-lampu desa.
"Sangat banyak papan peraga terbuat dari besi pelat dengan ukuran dan isi yang seragam--jelas buatan pabrik," sebut Feith.
Dalam urusan jor-joran APK, Partai Komunis Indonesia tercatat sebagai partai paling giat. Mereka memanfaatkan apa saja untuk memperagakan tanda gambarnya. Mulai dari layang-layang hingga dekor panggung pertunjukan desa.
Masyumi, partai lainnya, tak mau kalah. Mereka juga berupaya sekreatif mungkin memperagakan tanda gambarnya. "Tetapi masih kalah kreatif dibandingkan dengan Partai Komunis," beber Feith.
Baca juga:
Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU hanya sedikit menggunakan papan iklan untuk memperagakan tanda gambarnya. Mereka membagikan lebih banyak kartu-kartu tanda gambar kepada warga.
Desain APK Pemilu 1955 cukup sederhana. Hanya berupa tanda gambar partai dan pesan tulisan di samping atau bawahnya. Beberapa APK punya pesan tulisan yang panjang. Sejumlah APK lain justru punya pesan tulisan yang singkat.
Yang unik, ada tiga parpol yang berbagi pesan dalam satu APK. Mereka adalah PNI Front Marhaenis, PKI, dan Gerakan Pembela Pantjasila. Masing-masing mereka mengusung caleg perempuan: Surjohadi (PNI Front Marhaenis), S.D. Susanto (PKI), dan Sahir (Gerakan Pembela Pantjasila).
Dalam APK itu, tersua tanda gambar tiga partai tersebut. Pesannya dalam bahasa Jawa. Singkat dan padat.
"Pembela Nasib Kaum Wanita Milih salah sidji tanda gambar ing nduwur iku tegase milih wakile para wanita kang sedjati (memilih salah satu tanda gambar di atas berarti memilih wakilnya perempuan sejati).
"Semangat untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan tidak dapat dihalangi oleh sekat-sekat ideologi," tulis Mudanto Pamungkas dalam Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955.

Dalam pemilu masa Orde Baru, Pemilu 1982 misalnya, desain dan materi APK belum banyak berubah. Masih didominasi tanda gambar tiga partai peserta pemilu (Golkar, PPP/Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI/Partai Demokrasi Indonesia) dengan pesan tulisan. Namun, dari segi keragaman visual dan pesan tulisan agak sedikit berbeda dari pemilu sebelumnya.
"Kalimat-kalimat pendek yang puitis dan tepat digunakan akan sangat mudah untuk diingat," tulis Arief Budiman dkk dalam Pemilu dalam Poster.
Kalimat-kalimat itu antara lain "Golkar Menang, Rakyat Senang, Bekerja Riang Ibadat Tenang", "Biar Disumpah aku tetap milih Ka'bah", dan "Biar Gepeng tetap Banteng". Ka'bah dan Banteng adalah lambang PPP dan PDI, sedangkan pohon beringin lambang Golkar.
Penggunaan figur dari tokoh panutan juga mulai marak. "Beberapa tokoh wayang seperti Gatotkaca, Punokawan, dan lain-lain sering digunakan sebagai simbol pengungkapan pesan," urai Arief Budiman dkk.
Sejak 2004, sistem pemilu Indonesia berubah, dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka. Parpol memang masih menentukan calegnya masing-masing, tetapi pemilih berhak mencoblos sendiri caleg pilihannya. Kertas suara pun memuat daftar nama caleg tiap parpol.
Sejak itulah caleg berlomba-lomba bersolek memoles dirinya dengan beragam citra. Dari yang agamis, merakyat, antikorupsi, nasionalis, sampai yang ngartis. (dru)
Baca juga: