Asal-Usul Disinformasi dan Hoaks Pemilu Indonesia


Tak seperti jingle pemilu, seluruh rakyat tak selamanya menyambut gembira. (Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia)
PEMILU 2024 sudah memanggil kita. Namun, tak seperti jingle pemilu, seluruh rakyat tak selamanya menyambut gembira. Ada yang biasa saja, ada juga yang apatis.
Sebab, musim pemilu sering dianggap musim jualan 'kecap nomor satu', janji, dan propaganda atau kampanye hitam.
Di jagat X (dulu Twitter) dan Instagram, perdebatan antarpendukung parpol dan pendukung calon presiden cukup sengit. Masing-masing memberikan 'kecap nomor satu' untuk jagoannya melalui video, meme, dan pernyataan.
Tak jarang materinya sering kali bombastis dan kelewat problematis. Kampanye hitam bisa berupa disinformasi atau bahkan sampai hoaks. Contohnya pemenggalan video, kutipan, dan penyimpangan pernyataan di luar konteks. Kebenaran urusan belakangan, yang penting bisa menyulut emosi duluan.
Lihat saja bagaimana sebuah akun X @murthadaone1 memelintir video Gibran Rakabuming Raka, cawapres Prabowo, seolah galak dengan anak kecil. Atau akun @kurawa menyebut Anies Baswedan telah menghapus gereja Protestan. Terakhir, Ganjar Pranowo dinarasikan seolah sedang menenggak minuman keras.
Semua tuduhan tersebut tak terbukti.
Saling serang, saling kecam, saling hina, bahkan saling fitnah bukan hal baru dalam pemilu di Indonesia. Bedanya, dulu lebih terang-terangan. Tak perlu bersembunyi di balik akun alter atau anonim di medsos. Contohnya dalam Pemilu 1955, pemilu pertama dalam sejarah Indonesia modern.
Belum banyak larangan kampanye saat itu. “Adapun bentuk kampanye yang dilarang adalah segala bentuk penyiaran baik lisan maupun tertulis yang merugikan kedudukan presiden dan wakil presiden,” tulis Alfitra Salam dalam “Pemilihan Umum dalam Perspektif Sejarah” termuat di Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru suntingan Syamsuddin Haris.
Baca juga:

Dilakukan Terang-Terangan
Sebagian besar pelaku propaganda justru partai-partai besar semacam Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Agitasi mereka tak jauh dari benturan ideologi hingga membuat Kampanye program partai pun tenggelam.
PNI kerap menganggap Masyumi ingin mendirikan negara Islam. Koran PNI, Suluh Indonesia, menyatakan penolakan terhadap gagasan negara Islam.
Sebagian artikel bersifat semi-ilmiah, sisanya lebih mirip asumsi dan celaan belaka. Gambaran negara Islam melulu soal potong tangan, poligami, cadar, atau tirai pemisah antara lelaki dan perempuan.
Sukarno ikut bikin panas polemik negara Islam pada Januari 1953. “Ia mengeluarkan peringatan bahwa upaya menjadikan Indonesia negara Islam akan disusul dengan pemisahan diri wilayah-wilayah tertentu,” tulis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955.
Masyumi membantah segala tuduhan itu. KH Isa Anshary, ketua Masyumi Jawa Barat, mengecam tuduhan PNI dan Sukarno.
Menurut Isa, perjuangan negara berdasarkan Islam tak bertentangan dengan Pancasila. Dia juga melontarkan agitasi ke para pemimpin partai-partai politik bukan muslim. Dalam suatu pidato, Isa balik menera mereka sebagai 'munafik' dan 'kafir'. Sebutan ini bikin gerah tokoh partai lain.
DN Aidit, ketua umum PKI, ikut berkomentar. Dia menyebut Masyumi tak berhak mengkapling Islam. Bahasa sekarangnya setara dengan sebutan 'Si paling Islam'.
“Nabi Muhammad SAW bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi… Masuk Masyumi itu haram sedangkan masuk PKI itu halal,” kata Aidit dalam rapat umum PKI di Malang pada 28 April 1954, dikutip Abadi, 17 Mei 1954.
Saling kecam dan fitnah berlanjut ke media massa. Hikmah, majalah yang berafiliasi dengan Masyumi, mempunyai rubrik “Kawan dan Lawan”. Isinya tuduhan bahwa PKI hendak mendirikan kediktatoran. Abadi, koran pendukung Masyumi, tak kalah gencar menjatuhan PKI.
Misalnya dalam Abadi edisi 22 April 1955 tersua kisah anak kecil yang membawa sobekan Alquran berstempel PKI. Parahnya dalam sobekan itu ada tulisan “Masjumi seperti Asu”.
Kejadian itu benar ada atau tidak, urusan belakang. Yang penting bisa membangkitkan emosi massa.
Menjelang Pemilu 1955, tensi politik kian meningkat. PKI menuduh Masyumi sebagai partai penebar teror, antidemokrasi, dan berkomplot dengan pemberontak Darul Islam Kartosuwirjo. PKI juga menuduh Amerika Serikat berada di belakang Masyumi.
Orang Masyumi membalas, menyebut PKI sebagai 'antek Moskow'. Kala itu, Moskow dianggap sebagai 'Ibu Kota Komunis Dunia'. Masyumi menyebarkan selebaran “Memilih palu arit berarti menyerahkan Indonesia kepada kekuasaan asing”.
Taktik propaganda NU berbeda dari PKI dan Masyumi. Propaganda mereka lebih halus dan menumpang partai lain, tapi tetap memojokkan.
“Kalau Masyumi menang akan terjadi kekerasan; kalau PKI menang juga akan timbul kekerasan… Kalau tidak ingin terjadi kekerasan pada waktu pemilihan umum, pilihlah PNI (atau NU),” tulis Herbert Feith.
Pemilu Orde Baru
Meski Pemilu 1955 diwarnai saling kecam, fitnah, dan lempar propaganda, tak ada bentrok fisik berarti selama pemilu. Setelah Pemilu 1955, Indonesia baru menggelar pemilu lagi pada 1971 saat Orde Baru berkuasa.
Pemilu masa Orde Baru menampilkan pelakon propaganda tunggal, yaitu pemerintah. Dalam pemilu 1971 yang diikuti 10 partai, pemerintah menggunakan Golongan Karya (Golongan Karya) untuk melegitimasi kekuasaan.
Golkar adalah pemain baru dalam Pemilu. Untuk memenangi pemilu, Golkar menggunakan kekuatan Pertahanan Sipil (Hansip).
“Kami mengerahkan mereka dari rumah ke rumah menyampaikan pesan kepada keluarga: ‘Hanya Golkar yang bisa menjamin stabilitas dan pembangunan. Kalau anda pilih partai lain, berarti Anda antimiliter dan mungkin saja pro-PKI,’” tulis Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru.
Hasilnya, Golkar keluar sebagai pemenang pemilu.
Baca juga:

Propaganda Golkar berlanjut pada Pemilu 1977 yang hanya diikuti tiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP): Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua terakhir hasil penggabungan atau fusi beberapa partai.
Golkar menang lagi di Pemilu 1977. Begitu seterusnya hingga Pemilu 1997.
Saat Orde Baru berkuasa dan Golkar digdaya, propaganda 'Hantu PKI' menjadi senjata ampuh penguasa untuk menjegal lawan-lawannya. Mereka mengecap segala yang berlawan dengan pemerintahan sebagai 'PKI', partai yang dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa 30 September-1 Oktober 1965.
Orde Baru menerapkan Penelitian Khusus (litsus) untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari apa yang disebut sebagai 'anasir komunis'. Litsus juga dipakai untuk menekan oposisi.
Calon anggota legislatif (caleg) harus melalui kebijakan Litsus yang diwujudkan dalam program Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Beberapa caleg dari PDI dan PPP dinyatakan tak lulus Litsus.
Sejak pemilu 2004, untuk kali pertama kampanye hitam bukan hanya menyasar partai, tapi juga calon presiden. Sebab baru kali ini pula orang Indonesia menyelenggarakan pilpres langsung.
Dan sejak 2014, kampanye hitam beredar lebih cepat tersebab kemudahan akses informasi dari media sosial. Hingga kini disinformasi dan hoaks masih mewarnai pemilu di Indonesia. (dru)
Baca juga:
Jelang Kampanye Pemilu 2024, Pedagang Atribut Partai di Pasar Senen Terpaksa Gigit Jari
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Politik Thailand Kembali Bergejolak, PM Sementara Ajukan Pembubaran Parlemen dan Pemilu Baru

Tutup Rakernas, Surya Paloh Targetkan NasDem Masuk 3 Besar Pemilu 2029

NasDem Siap Tantang Partai Besar, Punya Strategi Khusus Rebut Tiga Besar Pemilu 2029

DPR Mulai Bahas Pilihan Alternatif Model Pilkada, Usulan PKB Gubernur Ditunjuk Presiden Belum Ada Yang Nolak

Junta Kembali Tetapkan Darurat Militer Jelang Pemilu Myanmar

Legislator Ungkap Keuntungan dari Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Partai Tengah Lagi Bikin Strategi Simulasi Pemilu dan Pilkada

Partai Buruh Ajukan Uji Materi Minta Ambang Batas Parlemen Dihapus Pada Pemilu 2029

4 Tahun Sebelum Pemilu, Golkar Jateng Ingin Rampungkan Seluruh Kepengurusan

Golkar Nilai Putusan MK soal Pemilu Bisa Jadi Bumerang dan Guncang Dunia Politik Indonesia
