Bawaslu Cemaskan Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak
Selasa, 04 Februari 2020 -
MerahPutih.com - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Moch Afifuddin mengajak masyarakat ikut berperan mengawasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 23 September 2020.
"Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih penting, tapi tidak kalah penting juga keterlibatan masyarakat dalam mengawasinya, papar Afif saat membawakan kuliah umum di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (4/2).
Baca Juga
Dengan Sistem Asimetris, PDIP Setuju Penghapusan Pilkada Langsung
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pileg pada 2019 lalu, tingkat partisipasi pemilih mencapai angkat 81 persen berdasarkan data KPU. Hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, untuk keterlibatan dalam pengawasan, ini belum tentu. Sehingga pihaknya mengajak masyarakat ikut mengawasi jalannya Pilkada yang berintegritas.
Menurut dia, sejak reformasi, pelaksanaan Pemilu maupun Pemilukada sudah semakin demokratis. Hal tersebut ditandai dengan semakin transparannya proses tetapi disisi lain tidak bisa diprediksi hasilnya.
"Pemilu kita itu prosesnya predictable tapi hasilnya tidak bisa diprediksi (unpredictable), kalaupun diprediksi lembaga survei, bedanya samanya sedikit. Tapi, prinsip ketidakpastian itu pada hasilnya. Karena kerahasiaan dan sebagainya itu ada dalam prinsip pemilu," ungkap Afif.
Baca Juga
Pria disapa akrab Afif ini menambahkan, Pemilu tidak seperti olahraga sepakbola yang aturan jelas, metode dan tujuannya itu sama dan universal di seluruh tempat di dunia.
"Di tiap negara (pemilu) itu berbeda. Tujuan atau permainannya sama, namun metodenya beda. Belum tentu yang tidak ada di Indonesia, maka (demokrasi) di Indonesia malah buruk," papar Afif.
Sehingga tidak boleh ada yang merasa sistemnya lebih baik dibanding yang lain. Tantangannya, lanjut Afif, bukan di metode pemilihannya. Problem kita ada pada kecepatan penerimaan informasi hasil pemilu.
"Bukan di metode, tapi di counting. Kita masih lambat. Betapa mengerikannya jika rakyat tidak percaya kepada penyelenggara pemilu," tambah mantan Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) periode 2013-2015 ini.
Ia juga membagi pengalamannya terkait perbandingan penyaluran hak pilih warga di Indonesia dengan negara lain saat menjadi salah satu pemantau pemilu internasional.
Baca Juga
"Saya berkesempatan menyaksikan langsung proses pemilu yang berlangsung di luar negeri, salah satunya adalah Afganistan. Selain fakta bahwa perempuan tidak sebebas kita di Indonesia, mengambil gambar kotak suaranya pun, saya sampai dikejar polisi. Bayangkan jika itu terjadi di negeri kita. Kita harusnya bersyukur hidup di Indonesia," tambah Afif. (Knu)