Badan Pangan Harus Bersiap Hadapi Krisis

Jumat, 22 Juli 2022 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Ancaman krisis pangan menghantui dunia. Bahkan, kondisinya diprediksi lebih buruk dibandingkan krisis ekonomi di tahun 2018.

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo menilai, suka tidak suka semua pihak harus menghadapi hal itu.

Baca Juga:

Minyak Sawit Jadi Solusi bagi Krisis Pangan dan Energi Dunia

"Karena ini konsekuensi daripada krisis ekonomi global akibat anomali cuaca dan dampak dari perang Rusia vs Ukraina. Dan dampak, adanya pandemi COVID-19 yang sampai sekarang belum usai juga semakin memperparah kondisi perekonomian global," kata Firman kepada wartawan, Jumat (22/7).

Firman menuturkan, sejak 2009 dirinya sudah menyuarakan pentingnya swasembada pangan untuk menuju kedaulatan pangan nasional. Bahkan, mendorong agar badan pangan nasional untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya krisis pangan.

Hal tersebut, kata dia, sudah diwarning oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB. FAO telah merilis populasi penduduk dunia akan terjadi kenaikan cukup tajam di tahun 2050 diperkirakan akan mencapai angka 9,7 milliar. Sedangkan, di tahun 2030 berdasarkan rilis Bappenas diperkirakan penduduk Indonesia akan naik menjadi 300 juta.

"Artinya akan ada kenaikan dua kebutuhan besar yaitu energi dan pangan akan mengalami kenaikan signifikan, oleh karena itu kalau kita tidak bersandar kepada pangan pokok prudiksi nasional dan kita tidak melakukan deversifikasi pangan sesuai imbauan Presiden. Disamping itu kita harus juga melakukan subtitusi pangan," ujarnya.

Anggota Baleg DPR ini melanjutkan, subtitusi pangan dilakukan untuk mengatasi ketergantungan bahan kebutuhan pangan impor. Contohnya, mie dalam negeri saja masih bergantung kepada bahan baku gandum impor dari Ukraina.

"Kalau tidak dilakukan maka kita akan terjebak dalam ketergantungan bahan baku impor itu beresiko tinggi dengan harga semakin tidak bisa terkendali. Disamping pemerintah juga harus mulai melakukan evaluasi terhadap terhadap produksi pertanian tutur,” ujarnya.

Sementara itu, Bank Indonesia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,5 persen menjadi 2,9 persen di tengah meningkatnya risiko stagflasi dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini sejalan dengan ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina yang terus berlangsung serta meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan. (Pon)

Baca Juga:

Ancaman Krisis Pangan Tidak Bisa Dianggap Enteng

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan