100 Juta Rakyat Indonesia Memilih Kepala Daerah

Rabu, 09 Desember 2015 - Noer Ardiansjah

MerahPutih Politik - Sedikitnya 100 juta rakyat Indonesia di 32 provinsi bakal mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dihelat Rabu (9/12).

Sebanyak 269 daerah menggelar pilkada serentak di 9 provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

Kali ini, pilkada serentak boleh jadi merupakan pesta demokrasi paling besar setelah Pemilihan Legislatif atau Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik mengungkapkan, sebanyak 100.461.890 warga negara Indonesia terdaftar sebagai pemilih Pilkada serentak hari ini.

"Mereka termasuk daftar pemilih tetap, terdiri dari 50.297.483 laki-laki dan 50.164.427 perempuan," ujar Husni saat rapat koordinasi dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kementerian Dalam Negeri, dan perwakilan partai politik peserta Pilkada, di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (6/12).

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak mengacu pada UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), calon pasangan kepala daerah tunggal bisa mengikuti proses tahapan Pilkada Serentak 2015.

Ada beberapa hal berbeda terkait pilkada serentak dibandingkan pilkada sebelumnya. Pemilihan langsung kepala daerah adalah buah dari reformasi politik 1999 yang meninginkan pemimpin daerah tidak boleh lagi dipilih anggota DPRD. Pilkada digelar pertama kali di tahun 2005.

Cukup satu putaran

Sebelum Pilkada 2015, pilkada dua putaran dimungkinkan. Ketentuannya meenyebutkan suatu pasangan calon dinyatakan memenangkan Pilkada jika mendapatkan suara terbanyak dengan perolehan sedikitnya 30% dari suara yang sah. Apabila tidak ada yang mendapatkan suara 30%, maka diselenggarakan pemungutan suara putaran kedua dengan diikuti dua pasangan calon yang paling banyak mendapatkan suara.

Aturan Pilkada serentak 2015 lebih simpel, peraih suara terbanyak langsung dinyatakan sebagai pemenang pemilihan kepala daerah, berapapun persentase perolehan suaranya.

Penghitungan suara di kecamatan

Pilkada serentak kali ini tidak lagi menghitung jumlah suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Panitia Pemungutan Suara (PPS)/Kelurahan. Hasil penghitungan suara di TPS akan langsung dikirim ke Kecamatan. Menurut KPU, hal ini untuk memangkas mata rantai potensi kecurangan pilkada.

Anggaran KPU membengkak karena kampanye dibiayai negara

Beberapa kegiatan kampanye para calon kepala daerah kali ini dibiayai negara. Antara lain iklan media cetak dan elektronik, debat terbuka antar calon kepala daerah, penyebaran bahan kampanye, dan pemasangan alat peraga. Tidak mengherankan pada Pilkada Serentak, anggaran negara membengkak dari perhitungan awal Rp4,8 triliun menjadi Rp7,1 triliun. Anggaran Pilkada Serentak diambil dari APBN dan APBD penyelenggara Pilkada.

UU Pilkada tidak ada sanksi bagi pelaku politik uang

Undang-undang No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memang melarang praktik politik uang seperti menyogok pemilih atau penyelenggara pilkada, memberikan imbalan, dan membeli suara. Masalahnya tidak ada klausul atau pasal sanksi pidana bagi pelaku politik uang.

Peluang sanksi pidana tetap ada jika ada pihak yang mengadukan pelaku politik ke polisi atau kejaksaan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Persoalannya, ketentuan KUHP amat normatif dan tidak ada tenggat, sehingga bisa saja proses pengadilan mulai tingkat negeri hingga Mahkamah Agung berlangsung lima tahun sampai kepala daerah yang terpilih dicurigai menebar politik uang selesai masa jabatannya.

BACA JUGA

  1. Pilkada 2015: Golput Bukan Solusi
  2. 2251 Personel Gabungan Diterjunkan Amankan Pilkada Tangsel
  3. Rawan, Densus 88 Ikut Amankan Pilkada Tangsel
  4. Pilkada Depok, Polisi Siaga Satu
  5. Tiga Calon Pilkada Tangsel Tidak Dapat Mencoblos

 

 

 

 

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan