RUU TPKS, Payung Hukum Bagi Korban Kekerasan Seksual

Andika PratamaAndika Pratama - Jumat, 31 Desember 2021
RUU TPKS, Payung Hukum Bagi Korban Kekerasan Seksual

Dukungan pengesahan RUU PKS/TPKS.ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk mengganti nama Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Alasan parlemen Senayan merobak istilah agar penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual lebih mudah dilakukan.

Pergantian nama dari RUU PKS menjadi RUU TPKS dilakukan setelah adanya diskusi panjang yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Termasuk di antaranya para pakar, Komnas Perempuan hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dipilihnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga supaya lebih mudah membumi.

Baca Juga

Cak Imin Pastikan RUU TPKS Disahkan Jadi Inisiatif DPR saat Rapur Januari 2022

RUU TPKS diharapkan menjadi satu-satunya undang-undang yang berpihak kepada korban karena sejauh ini UU yang sudah ada mengatur kekerasan seksual secara terbatas.

Perubahan nama RUU TPKS tak berjalan mulus begitu saja, ada dua Fraksi DPR yang ngotot tidak setuju dengan mana baru tersebut. Lalu ada tujuh fraksi yang dukung nama itu yakni PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, Partai Demokrat, dan PAN.

PKS mengusulkan judul RUU Tindak Pidana Kesusilaan. RUU kekerasan seksual tersebut harus mencakup semua perilaku kejahatan seksual. Oleh karena itu, dipilihnya nama tersebut agar disesuaikan judul dan kontennya yaitu RUU Tindak Pidana Kesusilaan. Kecuali, dalam waktu bersamaan nanti, disahkan juga RKUHP yang menjadi RUU carry over periode.

Terlebih RUU TPKS ditolak PKS karena menilai RUU tersebut masih memuat frasa sexual consent atau berhubungan seks yang tidak dilarang meski di luar nikah, asal dengan syarat suka sama suka.

Hal itu menurut PKS juga tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan budaya Indonesia. Sebab itu partai yang diketua Ahmad Syaikhu menolak sebelum larangan perzinaan dimasukkan dalam RUU TPKS.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi di antaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.(ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI)
Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi di antaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.(ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI)

Meski nama sudah disetujui berubah, namun RUU TPKS belum juga dibahas dan dirampungkan DPR hingga mempunyai payung hukum yang kuat menjadi Undang-undang (UU).

Padahal banyak pihak yang mendesak Dewan Legislator Senayan untuk menyegerakan pengesahan RUU TPKS ini menjadi UU. Rancangan beleid itu dinilai sebagai salah satu jalan keluar untuk mencegah tindak kekerasan seksual.

Sebab berdasarkan catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, sepanjang tahun 2021 ini terdapat 1.321 aduan kasus yang masuk. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan pada 2020 yaitu 1.178 kasus.

Baca Juga

Ketua DPR Pastikan Pengesahan RUU TPKS Hanya Masalah Waktu

Adapun dari total pengaduan yang masuk, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni 489 kasus, disusul kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, Kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.

Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, di sepanjang tahun 2020, telah terjadi 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Wabah kasus kekerasan seksual mendominasi data tersebut, yakni sebesar 45,6 persen yang terjadi di ranah publik atau komunitas dan 17,8 persen terjadi di ranah personal.

Maka dari itu banyak pihak yang mendorong agar RUU TPKS untuk disahkan jadi UU. Sebagai contoh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) meminta DPR menyelesaikan RUU TPKS. Hal tersebut bertujuan untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan seksual dan sebagai upaya perlindungan terhadap 84,4 juta anak dan 133,54 juta perempuan Indonesia.

RUU TPKS itu secepatnya dirampungkan lantaran kasus kekerasan seksual yang terjadi terus menerus. Yang paling miris Kementerian PPPA menemukan adanya fakta bahwa keluarga, lembaga pendidikan, orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak, justru di berbagai kasus kekerasan seksual menjadi pelaku.

Padahal dalam targetnya RUU TPKS dapat selesai pada tahun 2021. RUU TPKS batal disahkan menjadi RUU inisiatif DPR tahun ini, lantaran Rapat Bamus DPR belum menyepakati pembahasan rancangan regulasi tersebut dibawa ke Rapat Paripurna DPR terakhir di 2021, Kamis (16/12) lalu.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo memandang RUU TPKS memang mendesak untuk segera menjadi UU karena penanganan terhadap kasus kekerasan seksual masih dihadapkan pada kekosongan hukum.

Sejumlah aturan yang ada belum mampu secara spesifik mengatur segala hal terkait penindakan terhadap kasus kekerasan seksual yang dapat memberikan keadilan dan melindungi para korban.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bahkan Undang-Undang tentang Pornografi belum mampu menjadi payung hukum pelindung warga negara Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual.

DPR pun mengaku siap mengupayakan supaya RUU TPKS segera disahkan menjadi undang-undang.

Dewan berjanji akan mengesahkan RUU TPKS di awal masa sidang 2022 atau pasca reses anggota dewan awal pada 12 atau 14 Januari mendatang. DPR juga memandang RUU TPKS itu sangat penting agar korban-korban kejahatan seksual lebih mendapat jaminan hukum serta memperoleh keadilan. (Asp)

Baca Juga

Muktamar NU Diharap Rumuskan Cara Pandang Keagamaan Sikapi RUU TPKS

#Kekerasan Seksual #DPR RI
Bagikan
Ditulis Oleh

Asropih

Berita Terkait

Indonesia
Sarifuddin Sudding Sebut Kasus Korupsi Sengaja Diulur-ulur untuk Dijadikan 'ATM Berjalan', RKUHAP Wajib Batasi Waktu Penyidikan
Sudding singgung perlunya due process of law dan persoalan UU Tipikor terkait DPA
Angga Yudha Pratama - Jumat, 07 November 2025
Sarifuddin Sudding Sebut Kasus Korupsi Sengaja Diulur-ulur untuk Dijadikan 'ATM Berjalan', RKUHAP Wajib Batasi Waktu Penyidikan
Indonesia
DPR Desak Polisi Usut Tuntas Kebakaran Rumah Hakim Kasus Korupsi PUPR Sumut
Komisi III DPR mendesak polisi untuk mengusut tuntas kebakaran rumah hakim kasus korupsi PUPR Sumut.
Soffi Amira - Jumat, 07 November 2025
DPR Desak Polisi Usut Tuntas Kebakaran Rumah Hakim Kasus Korupsi PUPR Sumut
Indonesia
Pelarangan Produk Impor untuk MBG, Komisi VII : bakal Untungkan Produsen Lokal
Kebijakan tersebut dinilai sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap produk lokal dan pelaku usaha kecil di dalam negeri.
Dwi Astarini - Kamis, 06 November 2025
Pelarangan Produk Impor untuk MBG, Komisi VII : bakal Untungkan Produsen Lokal
Indonesia
Paripurna DPR Bakal Umumkan 'Comeback' Uya Kuya dan Adies Kadir, Ahmad Sahroni Cs Minggir Dulu
Adies Kadir dan Uya Kuya aktif kembali setelah MKD menyatakan mereka tidak melanggar kode etik. Simak sanksi nonaktif yang dijatuhkan pada Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach
Angga Yudha Pratama - Kamis, 06 November 2025
Paripurna DPR Bakal Umumkan 'Comeback' Uya Kuya dan Adies Kadir, Ahmad Sahroni Cs Minggir Dulu
Indonesia
DPR Ingatkan BPKH Jangan Jadikan Uang Umat untuk Proyek Infrastruktur yang Tak Ada Urusannya dengan Ka'bah
BPKH didesak fokus investasi untuk layanan jemaah dan bertanggung jawab moral atas amanah umat
Angga Yudha Pratama - Kamis, 06 November 2025
DPR Ingatkan BPKH Jangan Jadikan Uang Umat untuk Proyek Infrastruktur yang Tak Ada Urusannya dengan Ka'bah
Indonesia
Kebijakan Masa Tunggu Haji 26 Tahun Ciptakan Ketidakadilan Baru yang Rugikan Ribuan Calon Haji, Prioritaskan Jemaah Lansia Agar Tidak Tunggu Sampai Tutup Usia
Ia desak prioritas lansia, stop jalur cepat, dan diplomasi kuota ke Arab Saudi
Angga Yudha Pratama - Kamis, 06 November 2025
Kebijakan Masa Tunggu Haji 26 Tahun Ciptakan Ketidakadilan Baru yang Rugikan Ribuan Calon Haji, Prioritaskan Jemaah Lansia Agar Tidak Tunggu Sampai Tutup Usia
Indonesia
Gerindra Soroti Pasal Krusial RUU PKH, Jangan Sampai Dana Miliaran Rupiah Jadi Bancakan Investasi Gelap
Melati mendesak kejelasan norma pengawasan dan mitigasi risiko investasi dana haji untuk menjamin keamanan dan transparansi dana jemaah
Angga Yudha Pratama - Kamis, 06 November 2025
Gerindra Soroti Pasal Krusial RUU PKH, Jangan Sampai Dana Miliaran Rupiah Jadi Bancakan Investasi Gelap
Indonesia
Ada Demo Buruh di Sekitar MPR/DPR, ini Daftar Rute Transjakarta yang Dialihkan
Demo buruh sedang berlangsung di sekitar MPR/DPR RI. Sejumlah rute Transjakarta pun harus dialihkan akibat aksi tersebut.
Soffi Amira - Kamis, 06 November 2025
Ada Demo Buruh di Sekitar MPR/DPR, ini Daftar Rute Transjakarta yang Dialihkan
Indonesia
[HOAKS atau FAKTA]: Prabowo Siapkan Dekrit untuk Membubarkan DPR
Beredar unggahan konten di media sosial yang menyebut Presiden Prabowo segera membubarkan DPR, cak faktanya!
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 06 November 2025
[HOAKS atau FAKTA]: Prabowo Siapkan Dekrit untuk Membubarkan DPR
Indonesia
DPR Jelaskan Alasan Uang Pengganti Tak Melanggar UUD 1945, Bisa Jadi Senjata Rahasia Jaksa Sita Aset Koruptor
Oleh karena itu, permohonan tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) atau setidaknya ditolak secara keseluruhan
Angga Yudha Pratama - Rabu, 05 November 2025
DPR Jelaskan Alasan Uang Pengganti Tak Melanggar UUD 1945, Bisa Jadi Senjata Rahasia Jaksa Sita Aset Koruptor
Bagikan