DPR Jelaskan Alasan Uang Pengganti Tak Melanggar UUD 1945, Bisa Jadi Senjata Rahasia Jaksa Sita Aset Koruptor
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil (DPR RI)
Merahputih.com - Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menegaskan bahwa ketentuan mengenai uang pengganti dalam Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 30A dan Pasal 30C huruf (g) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Kejaksaan, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Bahwa secara historis, uang pengganti sudah dikenal pada tahun 1960 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Perppu 24/1960), yaitu dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) yang mengatur bahwa terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi,” ungkap Nasir Djamil di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/11).
Baca juga:
Hakim Tipikor Minta Bobby Nasution Jadi Saksi, Eks Penyidik KPK: Momentum Bongkar Aktor Intelektual
Dasar Hukum Uang Pengganti dari Masa ke Masa
Setelah Perppu 24/1960, aturan tentang uang pengganti diteruskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (UU 3/1971) dengan rumusan yang serupa, yang termuat dalam Pasal 34 ayat (3). Ketentuan ini kemudian diatur kembali dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999.
Berdasarkan dokumen Risalah Rapat Panitia Khusus dan Panitia Kerja DPR, uang pengganti pada dasarnya adalah pengembalian hasil kejahatan korupsi. Jika terpidana tidak mampu membayarnya, Jaksa dapat menyita dan melelang hartanya.
Apabila harta terpidana tidak mencukupi, maka ia akan dikenakan pidana penjara tambahan yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok. Semua mekanisme ini harus sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Mekanisme perampasan aset terkait tindak pidana, sesuai KUHP dan KUHAP, harus melalui putusan pengadilan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa aset yang disita benar-benar terkait dengan tindak pidana; jika tidak terkait, aset tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik yang berhak.
Baca juga:
MA Buka Suara! Tiga Hakim Tom Lembong Ternyata Punya Sertifikat Tipikor Sah
Terkait permohonan yang diajukan, politisi PKS ini berpendapat bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Oleh karena itu, permohonan tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) atau setidaknya ditolak secara keseluruhan.
“Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut yang telah diusulkan,” tutup Nasir Djamil.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Gubernur Riau masih Terlibat Kasus Korupsi meski sudah Diingatkan, Pemerintah Buka Wacana Evaluasi Sistem Pengawasan
KPK Tangkap Bupati Ponorogo
KPK Amankan Dokumen dan CCTV Usai Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid
Sarifuddin Sudding Sebut Kasus Korupsi Sengaja Diulur-ulur untuk Dijadikan 'ATM Berjalan', RKUHAP Wajib Batasi Waktu Penyidikan
DPR Desak Polisi Usut Tuntas Kebakaran Rumah Hakim Kasus Korupsi PUPR Sumut
Pelarangan Produk Impor untuk MBG, Komisi VII : bakal Untungkan Produsen Lokal
Adam Damiri Bawa 8 Novum untuk Dasar PK Kasus Asabri
Soroti Kebakaran Rumah Hakim PN Medan, Eks Penyidik KPK: Bentuk Teror ke Penegak Hukum
Aksi Demo Buruh KASBI Tuntut Sahkan UU Ketenagakerjaan Pro Buruh di Gedung DPR
Rumah Hakim Kasus Korupsi Proyek Jalan di Sumut Terbakar Misterius, DPR: Kejahatan Terencana!