Perbudakan Seksual Masuk Dalam Bahasan RUU TPKS


Demo Dunkung Pengesahan RUU PKS/ TPKS.(Foto: Antara)
MerahPutih.com - Masuknya pembahasan tentang perbudakan seksual dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS dari pemerintah diapresiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).
Koordinator Advokasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti menjelaskan, pelaku perbudakan seksual bermaksud untuk melakukan pemerkosaan atau pencabulan dengan membuat orang lain di bawah kendalinya.
Baca Juga:
Tujuan Pemerintah Libatkan Masyarakat Sipil dalam Pembahasan RUU TPKS
Ia memaparkan, di dalam perbudakan seksual ini adalah setiap orang yang mencabut kebebasan seseorang atau membuat orang di bawah kendalinya dengan maksud melakukan perkosaan atau pencabulan, dipidana karena perbudakan seksual dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 1,5 miliar.
Ia menilai, hal tersebut berbeda dengan makna perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang tidak spesifik menjelaskan tentang niat pelaku.
"Inti dari perbudakan seksual adalah mencabut kebebasan seseorang. Itu bisa berarti fisik maupun psikis, termasuk dengan penjeratan utang," katanya.
Ratna mengatakan, dengan peraturan yang ada, seringkali perbudakan seksual hanya dikenakan pidana yang rendah, tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku.
"Kalau ketika melihat kasus itu, seringkali memang diterapkan adalah pasal perkosaan, kemudian juga ada pasal perampasan kemerdekaan, tapi ini tidak cukup, tidak cukup tepat untuk diterapkan pada persoalan ini," ujarnya.
Ia menegaskan, perbudakan seksual, dampaknya sangat berbeda, bahkan kasus yang di Medan, misalnya, 15 tahun disekap di sebuah gua.
"Nah apakah kita hanya menerapkan Pasal 285 yang hanya maksimal 12 tahun ya," katanya.
LBH APIK mendorong perbudakan seksual diatur dengan peraturan tersendiri, sehingga dapat diberikan hukuman yang setimpal.
Baca Juga:
RUU TPKS Sah Jadi Inisiatif DPR, Puan Minta Presiden Segera Kirim Surpres
"Kita perlu melihat kualitas dari perbuatan ini, sehingga memang tepat ini harusnya ada pasal tersendiri, perbudakan seksual, sehingga hukumannya juga lebih sesuai dengan peristiwa dan dampak yang dialami korban," ujarnya.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mendesak pemerintah untuk segera sahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) guna mengisi adanya ‘kekosongan’ dalam hukum yang menangani kasus kekerasan seksual.
"Sangat urgen. Pertama karena RUU ini diharapkan bisa mengisi ‘kekosongan’ hukum yang tadi saya katakan seperti di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT)," kata Maria. (Pon)
Baca Juga:
RUU TPKS Diharap Atur Hak Prosedural Hingga Hak Layanan Korban
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Komnas HAM Sebut Restorative Justice tak Boleh Dipakai untuk Kasus HAM Berat dan TPKS

Wapres Ke 10 dan 12 RI Jusuf Kalla Ikuti RDPU bahas RUU Pemerintahan Aceh

Guru Anggota TPPK Lakukan Kekerasan Seksual, DPR: Harus Dihukum Berat

Korban Kekerasan Seksual Anak Minta Elon Musk Hapus Tautan ke Gambarnya, Pihak Penjual Terdeteksi Berlokasi di Jakarta

Menteri PPPA Bakal Kawal Pemulihan dan Restitusi Santri Korban Kekerasan Seksual Pengasuh Pondok

Tanpa Alasan Jelas, Departemen Kehakiman AS Pecat Jaksa dalam Kasus Diddy dan Epstein

Baleg Bongkar 'Permainan Norma' MK, Pemilu Nasional dan Daerah Kena Imbasnya

Restorative Justice Kasus Kekerasan Seksual di Karawang: Gadis 19 Tahun Dinikahi Pemerkosanya Lalu 'Dibuang' Sehari Kemudian

Mantan Kapolres Ngada Diserahkan Mabes Polri ke Polda NTT, Habis Idul Adha Diambil ke Jaksa

RUU PPRT Akhirnya Diangkat Lagi setelah 21 Tahun Tertunda, Koalisi Sipil Apresiasi Baleg DPR
