Pakar Hukum Tata Negara Nilai Rencana Pemberlakuan Kembali GBHN Mubazir
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai rencana kembali ke GBHN mubazir (Foto: antaranews)
MerahPutih.Com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengungkapkan rencana sejumlah pihak termasuk elite partai politik untuk kembali memberlakukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mubazir. Pasalnya, saat ini terkait dasar pembangunan nasional sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Dalam undang-undang itu ada rencana pembangunan jangka panjang, bukan hanya menengah. Bentuknya undang-undang, artinya itu dibahas juga oleh DPR, partai-partai politik juga. Jadi tidak akurat kalau misalnya dikatakan kita tidak punya haluan negara," kata Bivitri ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (13/8).
Baca Juga: PAN Minta GBHN Kembali Dihidupkan
Menangkis argumentasi pendukung GBHN yang berpijak pada perlunya rencana pembangunan yang terarah dan berkelanjutan, Bivitri menjelaskan UU Nomor 25 Tahun 2004 merupakan landasan hukum pelaksanaan perencanaan pembangunan di Indonesia, lahir setelah amandemen UUD 1945 yang menghapuskan fungsi MPR dalam menyusun dan menetapkan GBHN.
Sebagaimana diketahui, Kongres V PDI Perjuangan merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN dengan alasan diperlukan haluan negara yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa tokoh sudah angkat suara mengenai wacana tersebut, mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang menyebut perlu kajian lebih lanjut dan tidak harus dilakukan terburu-buru.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah mengatakan haluan negara yang diusulkan bukan hanya haluan pembangunan nasional oleh pihak eksekutif semata, melainkan juga menghadirkan haluan lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD 1945.
Menurut Bivitri Susanti sebagaimana dilansir Antara, GBHN sudah tidak relevan dalam sistem tata negara yang berlaku di Indonesia saat ini, karena GBHN adalah mandat yang diberikan MPR kepada presiden, yang dulu bila tidak dilakukan bisa menjadi alasan pemakzulan.
Baca Juga: Politisi PKS Desak Perlunya GBHN Sebagai Panduan Arah Pembangunan
Namun, setelah dilakukan amandemen undang-undang pascareformasi hal itu tidak berlaku lagi, karena presiden tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kecuali melakukan tindakan pidana tertentu.
Ia mengatakan, dipermasalahkannya pergantian prioritas pembangunan ketika pimpinan eksekutif berganti adalah hal wajar terjadi dalam sistem politik yang demokratis.
"Kalau masalah haluan negara yang satu arah untuk kesejahteraan rakyat, sebenarnya secara filosofis kita punya di Pancasila dan Undang-Undang Dasar," pungkas pakar yang juga salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini.(*)
Baca Juga: Menyoal GBHN, Wapres: Apa Rakyat Mau Haknya Diambil MPR Lagi?
Bagikan
Berita Terkait
Pemerintah Harus Bayar Utang Whoosh Rp 1,2 Triliun per Tahun, Pengamat Sebut Bisa Jadi Bom Waktu
Kontroversi Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Bivitri Susanti: Alarm Bahaya bagi Demokrasi
Prabowo Ikut Musnahkan Barang Bukti Narkoba, Pengamat: Bandar Mulai Ketar-ketir
Akun Medsos yang Hina Bahlil Dilaporkan ke Polisi, Direktur P3S: Sangat Tidak Etis
Pengamat Beri Nilai 6 untuk Setahun Kinerja Prabowo-Gibran, Sebut Tata Kelola Pemerintahan Semrawut
Bertemu ‘Empat Mata’, Pengamat Menduga Jokowi Kecewa karena Tak ‘Deal’ Politik dengan Prabowo
Kebijakan KPU Batasi Akses Ijazah Capres/Cawapres, Pengamat Politik: Berpotensi Langgar Keterbukaan Publik
KPU tak Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, Pengamat: Berpotensi Langgar Undang-undang
Banyak Wamen Rangkap Jabatan jadi Komisaris BUMN, Pengamat Nilai Pemerintahan Prabowo tak Terarah
Rencana TNI Jaga Gedung Kejaksaan Ditolak, Pengamat: Mereka Bukan Aparat Keamanan