Vaksin mRNA untuk Melawan Kanker Pankreas Tunjukkan Harapan


Terapi eksperimental vaksin yang sedang diuji BioNTech berpotensi menyembuhkan kanker pankreas. (Foto: Unsplash/Mufid Majnun)
KANKER pankreas merupakan salah satu yang keganasannya paling mematikan. Penyakit ini bisa fatal pada 88 persen pasien. Jenis kanker ini juga salah satu yang paling sulit diobati. Tumornya dapat diangkat melalui pembedahan, tetapi akan kembali dalam waktu tujuh hingga sembilan bulan pada 90 persen pasien.
Kemoterapi dapat membantu memperpanjang hidup, tetapi juga jarang menyembuhkan. Radiasi, imunoterapi, dan terapi bertarget juga tidak berfungsi. Itulah mengapa ketika Barbara Brigham didiagnosis menderita kanker pankreas pada September 2020, kemungkinan sembuhnya sangat kecil.
BACA JUGA:
Namun, hampir tiga tahun setelah diagnosisnya, Brigham mengatakan pemindaian rutin tidak menemukan jejak kanker di pankreasnya. Untuk itu, ia memuji terapi eksperimental vaksin kanker personalisasi yang sedang diuji BioNTech. Brigham ialah salah satu dari 16 peserta dalam pengujian teknologi baru tersebut. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal Nature, Rabu (10/5).

Dari 16 pasien yang mampu menyelesaikan semua fase penelitian, delapan bereaksi pada vaksin yang mengajarkan sistem kekebalan mereka bagaimana mengenali dan melawan sel kanker. Tak satu pun dari delapan orang itu yang menemukan kanker mereka kembali.
Dalam tes darah, kedelapan responden membuat sel-T melawan tumor mereka. Para pasien itu bertahan setidaknya selama dua tahun meskipun menjalani kemoterapi lanjutan. Di antara delapan pasien yang tidak menanggapi vaksin secara memadai, hanya dua yang tidak melihat kanker mereka kembali.
BACA JUGA:
“Saya pikir itu sangat menjanjikan. Ini menyoroti platform mRNA dan keserbagunaan untuk dapat mempersonalisasi atau menyesuaikan vaksin ini dengan tumor spesifik setiap pasien dan menghasilkan vaksin yang disesuaikan ini dalam waktu yang cukup singkat,” kata ahli onkologi Dr Neeha Zaidi di Johns Hopkins Kimmel Cancer Center yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Namun, Zaidi menambahkan, “Masih harus dilihat, tapi hasil awal yang pasti sangat menarik.”
Studi ini tidak dirancang untuk menguji apakah vaksin akan efektif. Penelitian itu bermula untuk melihat apakah terapi itu aman dan bahkan layak. Para peneliti juga ingin melihat apakah rejimen tiga tahap yang mereka uji akan menciptakan tanggapan kekebalan yang diinginkan.

“Saya pikir sangat menggembirakan melihat bahwa respons [kekebalan] berkorelasi dengan kelangsungan hidup bebas kekambuhan. Namun, ini adalah studi kecil dengan hanya 16 pasien pada fase satu,” kata Ahli Bedah Kanker Dr. Vinod Balachandran di Memorial Sloan Kettering Cancer Center yang memimpin penelitian tersebut.
Jadi, menurutnya, hasil itu merupakan korelasi. Itu bukan sebab-akibat. Kami harus menguji penyebabnya dalam uji klinis yang lebih besar.(aru)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
