Soal RUU Penyiaran, Setara Institute: Mengancam Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Informasi


Logo Setara Institute. (Dok. Setara Institute)
MerahPutih.com - Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang dibahas di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendapat sorotan publik. Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Azeem Marhendra Amedi menilai, beberapa ketentuan dalam draft RUU Penyiaran menunjukkan bahwa ada upaya sistematis untuk menggerus demokrasi.
Salah satunya larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran.
“Ada upaya untuk mengendalikan konten jurnalistik, yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak untuk memperoleh informasi,” kata Azeem di Jakarta, Rabu (15/5).
Azeem menuturkan, RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang problematik dan merusak agenda-agenda demokrasi dan demokratisasi, kebebasan pers, kebebasan informasi, serta agenda-agenda HAM secara umum yang telah diperjuangkan sejak awal era Reformasi.
“RUU Penyiaran memvalidasi penyempitan ruang-ruang sipil,” jelas Azeem.
Dia menyebut , alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi.
Baca juga:
DPR Tanggapi Isu Larangan Konten Investigasi di RUU Penyiaran
“Terutama melalui pemasungan kebebasan pers,” ungkap Azeem.
Menurut dia, RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran. Pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah.
“Padahal, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan,” ujar dia.
Dia menyebut, konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs internet.
“Dalam konteks itu, RUU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers,” ungkap Azeem.
Tak hanya itu, Azeem menyebut, RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pada ranah materiel, pelarangan berbagai konten digital bertentangan dengan hak atas informasi yang dijamin pada Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga:
IJTI Tolak Draf RUU Penyiaran, Meminta Semua Pihak untuk Mengawal
Pada ranah formil, beberapa lembaga dan kelompok seperti Dewan Pers yang belum dilibatkan dalam pembahasan RUU Penyiaran akan mengurangi legitimasi demokratik dari RUU tersebut.
“Sehingga ini berpotensi untuk dibatalkan karena abai pada prinsip keterlibatan banyak pihak,” imbuh Azeem.
Sementara itu, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah mendesak agar DPR dan Pemerintah memperluas partisipasi publik yang bermakna.
RUU Penyiaran harus sepenuhnya menjamin kebebasan pers, kebebasan memperoleh informasi, dan bebas dari desain untuk melakukan kontrol intrusif, eksesif, dan sensor berlebihan.
“Harusnya RUU Penyiaran harus menjadi bagian dari pilar demokrasi konstitusional, yang menjamin kebebasan pers dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan,” tutup Sayyidatul. (Knu)
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
DPR Sulap RUU Penyiaran, Konten Lucu Hingga Edukasi Tak Lagi Semrawut

Bahaya Konten Digital Tanpa Batas, DPR Desak Segera Ada Revisi UU Penyiaran

Legislator PKB Usulkan Pembatasan Akun Ganda Media Sosial dalam RUU Penyiaran

Keberatan Platform Digital User Generated Content Diatur UU Penyiaran

DPR Bakal Panggil YouTube, Netflix, dan TikTok Buat Bahas RUU Penyiaran

Komisi I Serahkan RUU Penyiaran Jadi Program Prioritas ke Baleg DPR

Inilah Alasan DPR Menunda Pembahasan RUU Penyiaran

DPR Tunda Pembahasan RUU Penyiaran, Ini Alasannya
