Kesehatan Mental

Sindrom Nuh, Gangguan Mental Memelihara Banyak Hewan

Dwi AstariniDwi Astarini - Jumat, 21 Juli 2023
Sindrom Nuh, Gangguan Mental Memelihara Banyak Hewan

Memelihara banyak hewan sama dengan penimbun atau hoarder, hanya yang dikumpulkan makhluk hidup bukan benda. (Foto: Pexels/Ayyeee Ayyeee)

Ukuran:
14
Audio:

HANYA sedikit orang yang tahu banyak tentang masalah yang dapat ditimbulkan memelihara banyak hewan. Hal itu dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang serius yang memengaruhi seluruh komunitas.

Memelihara banyak hewan sama dengan penimbun atau hoarder. Bedanya, hal yang dikumpulkan bukan benda mati, melainkan makhluk hidup. Penimbun memiliki akumulasi sejumlah besar hewan bersama dan gagal untuk menyediakan setidaknya standar nutrisi, sanitasi, dan perawatan hewan yang sangat minimum.

BACA JUGA:

Waspadai Sindroma Alice in Wonderland pada Anak

Penimbun secara umum hidup dalam kondisi yang buruk. Urine dan kotoran dapat menodai dinding dan lantai dan rumahnya dapat rusak karena kondisi yang tidak bersih. Sering kali, orang dan hewan di rumah itu menderita penyakit medis yang serius. Namun, sayangnya, mereka biasanya tidak menerima perawatan medis yang memadai.

Kondisi itu menggambarkan penyakit mental serius yang dikenal sebagai gangguan penimbun hewan yang disebut Noah Syndrome atau Sindrom Nuh. Istilah itu diambil dari tokoh Alkitab, Nabi Nuh, yang membangun sebuah kapal raksasa dan mengumpulkan sejumlah besar hewan.

Perawatan kesehatan mental jarang diberikan kepada penimbun hewan. Akibatnya, tingkat residivisme hampir 100 persen. Segera setelah hewan dikeluarkan dari rumah penimbun, orang tersebut mungkin akan mencari lebih banyak hewan untuk 'diselamatkan'. Siklusnya akan berulang kembali.

Asosiasi Psikiatri Amerika menunjukkan penimbunan hewan dapat memengaruhi 2-5 persen populasi orang dewasa di Amerika Serikat. Spesies hewan yang paling umum ditimbun yakni kucing dan anjing. Meskipun demikian, ada juga yang menimbun semua jenis hewan, termasuk hewan ternak besar.

Dalam sebuah penelitian terhadap 71 penimbun hewan, sekitar 82 persen kasus melibatkan kucing, 55 persen anjing, 17 persen burung, 6 persen reptil, 11 persen mamalia kecil, 6 persen kuda, dan 6 persen sapi, domba, atau kambing.

kucing
Beberapa jenis penimbun hewan menderita 'savior complex' dan gangguan delusi lain. (Foto: Pexels/Nothing Ahead)

Menurut DSM-V, sekitar 75 persen orang dengan hoarding disorder memiliki komorbid mood atau gangguan kecemasan. Beberapa dokter mendalilkan bahwa perilaku menimbun mungkin merupakan gejala obsesif-kompulsif dan gangguan yang berhubungan, seperti gangguan delusi, gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan sosial, dan gangguan kecemasan umum.

Ada pula yang percaya bahwa penimbunan mungkin muncul sebagai respons coping maladaptif terhadap peristiwa traumatis, seperti kematian mendadak dari orang yang dicintai. Profil tipikal (tidak eksklusif) dari penimbun hewan ialah perempuan berusia lebih daripada 60 tahun, memiliki lebih dari 40 hewan dalam perawatannya, dan telah mengumpulkan hewan selama lebih dari 20 tahun.

Penimbunan hewan lebih kompleks daripada penimbunan benda karena motivasi yang mendasarinya. Dalam studi Animal Hoarding: The Challenge for Mental Health, Law Enforcement, and Animal Welfare Professionals, Senior Vice President Anti-Cruelty Initiatives and Legislative Services pada American Society for the Prevention of Cruelty to Animals (ASPCA) Randall Lockwood menyarankan tiga jenis penimbun hewan.

1. Pengasuh yang Kewalahan atau Overwhelmed Caregiver (OC)

Jenis ini menderita gangguan delusi yang mencakup savior complex. Mereka benar-benar percaya dapat membantu hewan, terlepas dari penyakit dan kondisi yang memburuk di sekitar mereka. OC cenderung meminimalkan, bukannya menyangkal, masalah perawatan hewan. Biasanya, hal itu diakibatkan perubahan yang signifikan pada status kesehatan, ekonomi, sosial, medis, atau karier seseorang.

OC sering memiliki keterikatan yang kuat dengan hewan yang mereka rawat, tapi mereka tidak dapat merawat mereka seperti dulu. Hal itu menyebabkan penurunan perawatan. Pengasuh yang kewalahan cenderung terisolasi secara sosial dan lebih kooperatif dengan pihak berwenang ketimbanng kebanyakan penimbun.

BACA JUGA:

Oppenheimer, si 'Ayah' Bom Atom

2. Penimbun Hewan yang Diselamatkan atau Rescue Hoarder (RH)

Sama seperti OC, RH menderita savior complex. RH adalah subtipe penimbunan hewan terbesar dan paling umum. Dalam kasus yang melibatkan RH, individu tersebut merasa terdorong secara emosional untuk 'menyelamatkan' semua hewan, dan mereka mungkin menolak prospek eutanasia, bahkan saat hewan sakit parah dan menderita.

Mereka mungkin memandang agen pengontrol hewan sebagai musuh karena mereka berusaha mengeluarkan hewan dari perawatan mereka. Para peneliti percaya bahwa kondisi psikologis ini hampir menjamin residivisme terlepas dari konsekuensi hukum atau keuangan yang mungkin mereka hadapi.

3. Penimbun Pengeksploitasi atau Exploiter Hoarder (EH)

anjing
Sindrom Nuh adalah penyakit mental parah yang memerlukan perawatan, bukan pilihan gaya hidup. (Foto: Pexels/Helena Lopes)


Dari ketiga jenis penimbun, EH merupakan yang paling sulit ditangani karena amat mungkin mereka memiliki gangguan kepribadian sntisosial komorbid. Jenis penimbun ini mungkin memiliki wawasan tentang kondisi mereka, tetapi mereka kurang memiliki empati terhadap orang atau hewan dan mungkin dimotivasi keuntungan finansial.

Karena kurangnya keterikatan emosional dengan hewan, mereka mungkin tidak cocok dengan kriteria diagnostik untuk gangguan penimbunan. Exploiter mungkin mendapat manfaat dari perawatan untuk kecenderungan antisosial mereka daripada perawatan biasa untuk penimbunan hewan.

Masyarakat selalu menilai negatif orang-orang dengan sindroma nuh, terutama saat kita melihat gambar hewan yang benar-benar jorok dan sakit-sakitan di rumah penimbunan. Namun, kita harus menyadari bahwa ini adalah penyakit mental parah yang memerlukan perawatan, bukan pilihan gaya hidup.(aru)

BACA JUGA:

Nutrisi Tambahan Bantu Anak Bermasalah Makan Tumbuh Maksimal

#Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.

Berita Terkait

Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Fun
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Pelarian Artscape hadir sebagai pelampiasan yang sehat dan penuh makna.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 04 Agustus 2025
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Indonesia
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Kelelahan mental merupakan sindrom yang dihasilkan dari stres terkait dengan pekerjaan kronis.
Dwi Astarini - Rabu, 30 Juli 2025
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Lifestyle
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Gangguan perasaan bisa berupa emosi yang tumpul atau suasana hati yang kacau
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 26 Juli 2025
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Indonesia
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Hasil ini menjadi sinyal penting perlunya konsultasi lebih lanjut dengan tenaga profesional.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 21 Juli 2025
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Indonesia
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Depresi yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan depresi yang resistan terhadap pengobatan atau treatment resistant depression atau (TRD).
Alwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juli 2025
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Lifestyle
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Untuk skizofrenia, faktor risikonya mencakup genetik
Angga Yudha Pratama - Kamis, 15 Mei 2025
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Fun
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Skizofrenia dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 15 Mei 2025
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Fun
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Penderita GB I, mengalami setidaknya satu episode manik yang berlangsung selama seminggu atau lebih.
Ananda Dimas Prasetya - Rabu, 14 Mei 2025
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Fun
Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
Perasaan insecure selalu berkaitan dengan kepercayaan diri.
Ananda Dimas Prasetya - Selasa, 25 Februari 2025
Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
Bagikan