RKUHP yang Tengah Disusun Dinilai Rawan Timbulkan Masalah


Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Foto: Net
MerahPutih.com - Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dinilai masih menyisakan banyak masalah yang belum terselesaikan. Dibutuhkan pembahasan mendalam sebelum akhirnya disahkan pada masa sidang DPR RI ke-V 2018/2019.
Peneliti Aliansi Nasional Reformasi KUHP Meidina Rahmawati mengatakan pihaknya mencatat sedikitnya masih ada 18 masalah yang belum terealisasi dalam RUU KUHP. Berbagai klaim yang menyebut bahwa pembahasan telah rampung hingga 95 persen tak sejalan yang apa yang tengah dikawal.
"Kami menuntut agar pemerintah dan DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan sepihak RKUHP pada masa sidang V yang rencananya berlangsung 8 Mei 2019. Hal ini disebabkan RKUHP masih banyak memiliki permasalahan yang belum terselesaikan," kata Meidina dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Minggu (5/5).
Masalah pertama, yakni pada pola perhitungan pidana yang diklaim tim pemerintah melalui metode tertentu namun tidak pernah dijelaskan secara detail oleh pemerintah. Kedua, lanjut Meidina, masalah pengaturan hukum yang hidup di masyarakat yang akan memberikan ketidakpastian hukum.

"Ketiga, masalah pidana mati yang seharusnya dihapuskan, kemudian Maslah minimnya alternatif pemidanaan yang tidak jelas dengan syarat yang ketat sehingga tidak akan mengatasi overcrowding lapas dan rutan," paparnya.
Masalah selanjutnya yakni pengaturan tidak pidana korporasi yang masih tumpang tindih antar pasal dalam RKUHP; masalah pengaturan makar; masalah kriminalisasi promosi alat kontrasepsi; masalah kriminalisasi semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan; masalah kriminalisasi aborsi.
Kemudian masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court yang memuat rumusan karet yang mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers; masalah pengaturan tidak pidana penghinaan yang masih memuat pidana penjara sebagai hukuman; masalah wacana kriminalisasi hubungan sesama jenis; masalah pengaturan tindakan pemerkosaan.
"Masih ada masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis seperti pasal penghinaan presiden, pada penghinaan pemerintah yang sah dan lain lain," ungkapnya.
Masalah lainnnya yakni rumusan tidak pidana penghinaan terhadap agama; maslah tidak pidana korupsi yang melahirkan duplikasi rumusan; masalah tidak pidana narkotika yang seharusnya tidak diatur dalam RKUHP; dan masalah pelanggaran HAM berat yang masih diatur tidak sesuai dengan standar HAM internasional.
"Jika memang pemerintah telah selesai membahas RKUHP dan siap untuk disahkan, seharusnya ke-18 permasalahan ini tidak lagi termuat dalam RKUHP," kata dia.
Meidina mengatakan perkembangan perubahan RKUHP yang dihasilkan dari rapat internal pemerintah belum sepenuhnya dapat dikawal masyarakat. Rapat tersebut dilakukan secara tertutup dan tidak dapat diakses publik.
"Sekalipun pemerintah menyatakan terus membahas RKUHP, tidak ada satu pun perkembangan draft yang diberikan kepada masyarakat," kata Meidina.
Menurut dia, beberapa perubahan krusial yang kerap terjadi dalam pembahasan RKUHP ini berasal dari rapat internal pemerintah. Publik juga tidak pernah mengetahui siapa saja pihak yang disertakan dalam setiap agenda rapat tersebut.
"Apakah lembaga negara terkait juga dilibatkan, lantas pemerintah dan DPR secara tiba-tiba mengklaim RKUHP telah selesai 99 persen dan siap disahkan pada masa sidang V yang rencananya berlangsung mulai 8 Mei 2019," paparnya.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP lantaran masalah yang masih diperdebatkan. Masa sidang V DPR RI juga harus membuka semua perkembangan pembahasan RKUHP yang telah dilakukan untuk menjamin akuntabilitas pembentukan UU.
"Selama masa sidang setiap pembahasan RKUHP di semua tahapan harus dilaksanakan terbuka untuk publik karena RKUHP mengatur secara luas aspek hidup masyarakat yang berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia," ujarnya.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan diperlukan proses harmonisasi mendalam agar penyusunan draf RKUHP yang memakan waktu lama ini tidak kembali memunculkan polemik di masyarakat. Ia sepakat seluruh tahapan pembahasan UU pun perlu memenuhi syarat seperti transparansi.

"Dalam proses ini satu saja ada syarat yaitu keterbukaan kalau tidak dilakukan tentu punya potensi maladministrasi," kata Ninik.
Menurutnya, pembahasan seluruh undang-undang perlu dilakukan secara transparan. Akses masyarakat mudah mengetahui juga menjadi penting sebagai bagian dari implementasi dari UU itu sendiri.
"KUHP ini mengatur semua keterbatasan semua orang pada setiap aktivitas, punya implikasi yang akan dirasakan kita semua," ungkapnya.
Seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan RKUHP itu pun diminta lebih teliti dan terlebih dahulu mengakomodasi aspirasi masyarakat. Jangan sampai, kata Ninik, muncul berbagai gugatan di Mahkamah Konstitusi yang mestinya bisa selesai pada saat penyusunan.
"Perlu dipastikan betul proses harmonisasi pada keterpaduan perencanaan dan sistim hukum yang sama. Ombudsman punya kewenangan pengawasan, apakah sudah sesuai prosedur untuk seluruh tahapan," tuturnya. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Impunitas Advokat Masuk KUHAP Biar Tidak Ada Lagi Terdakwa Lolos Pengacara Masuk Penjara

Catatan Para Pengacara Terhadap RUU KUHP, Desak Hapus Pasal Penyadapan Dan Penguatan Alat Bukti

Masa Reses Komisi III DPR Gelar RDPU dengan Ketua LPSK dan DPN Peradi Bahas RUU KUHP

Legislator Desak Penguatan KUHAP untuk Hentikan Kekerasan pada Tersangka

RUU KUHAP Prioritaskan Perlindungan Warga dan Hilangkan Warisan Kolonial

RUU KUHAP Ditargetkan Berlaku Bareng KUHP 2026, Masyarakat Diharap Beri Masukan

Komisi III DPR Kebut Pembahasan RUU KUHAP, bakal Ada RDPU saat Reses

KUHP Baru Ubah Paradigma Hukum Pidana RI Bukan Lagi Balas Dendam

Yusril Pastikan KUHP Baru Bakal Diterapkan di 2026
Komisi III Serahkan RUU KUHP ke Baleg DPR
