Ribuan Buruh KSPI akan Demo Besar-besaran Tolak Omnibus Law dan PHK Massal


Ratusan buruh kembali melakukan aksi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (3/8). (Foto: MP/Ponco Sulaksono)
MerahPutih.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Saiq Iqbal mengancam akan mengadakan aksi bersama elemen serikat buruh lain. KSPI kembali melakukan aksi besar-besaran serentak di 20 provinsi pada 25 Agustuts 2020.
Aksi unjuk rasa tersebut hanya menuntut penolakan Omnibus Law RUU Cipker dan setop pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Apalagi sampai saat ini, pihaknya belum melihat strategi pemerintah dan DPR untuk menghindari PHK besar-besar akibat COVID-19 dan resesi ekonomi.
Baca Juga
“Mereka seolah-olah tutup mata dengan adanya ancaman PHK yang sudah di depan mata, tetapi yang dilakukan justru mengebut membahas Omnibus Law,” ucap Said kepada wartawan di Jakarta, Selasa (18/8).
Khusus aksi unjuk rasa di DKI Jakarta, akan diikuti puluhan ribu buruh di DPR dan ribuan buruh di kantor Menko Perekonomian. Aksi unjuk rasa juga bakal serentak dilakukan di berbagai daerah dengan mengusung isu yang sama.
Misalnya, aksi unjuk rasa di Jawa Barat dilakukan di Gedung Sate Bandung. Lalu, aksi unjuk rasa di Jawa Timur dilaksanakan di Gedung Grahadi Surabaya.

Aksi unjuk rasa serupa akan dilakukan juga di Banten, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Batam, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Makasar, Manado, Kendari, Mataram, Maluku, Ambon, hingga Papua.
“Bilamana DPR dan pemerintah tetap memaksa untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja, bisa saya pastikan, aksi-aksi buruh dan elemen masyarakat sipil yang lain akan semakin membesar,” tutur Iqbal.
Ia mengatakan, cita-cita kemerdekaan sulit diwujudkan jika RUU Ciptaker disahkan. Sebab, ada sejumlah pasal yang mereduksi hak-hak kaum buruh dan masyarakat kecil lainnya.
"Jadi, bukannya keadilan sosial yang akan didapatkan kaum buruh. Akan tetapi, masa depan dan hak-hak kami akan dikorbankan dengan adanya undang-undang sapu jagad itu," tuturnya.
Dia mengungkapkan, tidak berlebihan apabila dari waktu ke waktu, gerakan penolakan RUU Ciptaker semakin besar.
Dalam aksi pada 25 Agustus nanti, KSPI dan serikat buruh lain akan meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan upaya menghentikan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Sampai saat ini, kami belum melihat apa strategi pemerintah dan DPR untuk menghindari PHK besar-besaran akibat Covid-19 dan resesi ekonomi. Mereka seolah-olah tutup mata dengan adanya ancaman PHK yang sudah di depan mata, tetapi yang dilakukan justru mengebut pembahasan omnibus law," kritik Said Iqbal.
Baca Juga
JK Tegaskan Tantangan Seluruh Elemen Bangsa Lepaskan Diri dari COVID-19
Kelompok buruh menyebut ada beberapa pasal yang dinilai bermasalah, yakni
1. Pasal 33
Pasal ini mengubah Pasal 30 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang melarang kegiatan impor kecuali dalam kondisi tertentu.
Dalam Pasal 33 RUU ini disebutkan kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. "Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan," tulis kajian tersebut.
2. Pasal 66
Pasal ini memuat perubahan definisi ketersediaan pangan pada Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012. Pada RUU Cipta Kerja, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Pasal ini juga mengubah Pasal 14 UU Pangan untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri.
3. Pasal 89
Pasal ini mengubah ketentuan Pasal 59, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 93, dan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan dihapusnya Pasal 59 terkait pekerja kontrak untuk waktu tertentu (PKWT), artinya tidak ada batasan kapan kontrak akan selesai. Membuat pelaku usaha terus-terusan memakai pegawai kontrak. “Ada kaitan dengan job insecurity atau ketidakpastian kerja," seperti tertulis pada kajian itu.
Lalu perubahan pada Pasal 88, menurut kajian, telah menghilangkan peran serikat pekerja dalam penentuan upah. Misalnya, klausul pasal 88B mengatur pemberian upah kepada pekerja berdasarkan aturan waktu dan/atau satuan hasil. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memberikan upah yang minim dan berisiko menurunkan daya beli masyarakat.
Selanjutnya pada pasal 88D, penghitungan kenaikan upah minimum tidak lagi berlaku secara nasional, tapi menggunakan standar UMP dimana formula kenaikan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah. Apabila suatu daerah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, maka tahun berikutnya upah minimum bisa turun. “Sekali lagi berbahaya bagi daya beli masyarakat dan buruh pada umumnya," tulis kajian tersebut.
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus pada RUU Cipta Kerja. Padahal klausul ini mencantumkan sanksi bagi para pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum.
Lalu, perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pihak perusahaan.
Perubahan pada Pasal 93 terkait ketentuan cuti khusus atau izin. Di antara perubahan itu adalah menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 huruf a.
RUU sapu jagat ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b).
4. Pasal 117
Pasal ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Yaitu Pasal 47 dan 48 yang menghapus denda minimal praktik monopoli. Sehingga dinilai meringankan hukuman bagi pelaku usaha monopoli. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Tak Terima Anggota Dewan Dapat Gaji Tinggi sementara Rakyat Hidup Susah, Elemen Buruh Akan ‘Geruduk’ DPR Besok

Harga Bahan Pokok Melambung Tinggi hingga Daya Beli Lesu, Buruh Minta Upah Minimum Naik 10,5 Persen pada Tahun Depan

Bikin Pekerja Kena PHK, Buruh Akan Demo Besar-besaran Tolak Kesepakatan Dagang Indonesia-AS

Tito Tunjuk Wamen Bima Arya Jadi PIC Paket Omnibus Law Revisi UU Politik

Amini Usul DPR, Mendagri Kaji Paket Omnibus Law Revisi UU Politik Setelah Pilkada

Daya Beli Melemah, Buruh Tuntut Kenaikan Upah hingga 10 Persen Tahun Depan

Sederet Alasan Program Tapera Wajib Ditolak Versi Buruh

Buruh Ancam Mogok Nasional Jika Putusan MK Terkait Omnibus Law Tak Sesuai Ekspektasi
