Presiden Jokowi Pertaruhkan Integritasnya Dalam Revisi UU KPK


Pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad (tengah) menyebut UU KPK jadi pertaruhan integritas Presdien Jokowi (Antaranews/Riza Harahap)
MerahPutih.Com - Sejumlah pakar hukum menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyetujui revisi UU KPK. Menurut ahli hukum Suparji Ahmad, seteah disahkan DPR, bola panas revisi UU KPK berada di tangan Jokowi selaku pihak eksekutif.
“Apakah mau menandatangani atau tidak. Kalau tidak ada tangan, nanti juga (tetap) berlaku. Tetapi setidak-tidaknya Presiden menunjukkan sikapnya mengapresiasi publik atau tidak, itu yang saya kira kita tunggu selama ini,” kata Suparji dalam sebuah Diskusi MNC Trijaya Jakarta Pusat, Rabu (17/9).
Baca Juga:
Jika Presiden tidak setuju, kata pengajar Universitas Al-Azhar ini, RUU yang akan menentukan sikapnya untuk tidak tanda tangan dan kalau kemudian ternyata Presiden tanda tangan, maka berarti menyetujui proses pembahasan dan menyetujui naskah dari revisi UU KPK.

“Saya kira dengan hasil revisi undang-undang KPK ini, dunia tidak akan kiamat, tidak akan mati dan tidak dibunuh. Kalau saya kira kita harus kembali pada proses penegakan hukum tidak hanya semata-mata suatu materi Karena pada dasarnya proses penegakan hukum sangat tergantung dari materi dari aparatur dan dari budaya hukum,” kata dia.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi, mengatakan, dalam lingkup hukum tata negara berdasarkan teorinya, bahwa Indonesia menggunakan tiga konsep atau makna hukum tata negara.
Pertama dalam bahasa Belanda dikatakan pembentukan organ negara kedua yang ketiga hubungan antara organ-organ negara ketika mengkaji undang-undang KPK dalam revisi yang diinisiasi oleh DPR kemudian Direstui oleh Presiden merupakan konstitusional.
“Saya kalau dari sisi pembatasan wewenang, sesungguhnya penyadapan itu harus diawasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyebut jika revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat.

Dia mengatakan, pembahasan revisi Perubahan UU nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK cacat prosedural. Dia menjelaskan, revisi tersebut seharusnya dilakukan melalui prolegnas prioritas tahunan. Sementara, pembahasan UU yang baru saja disahkan itu tidak melalui prolegnas.
"Alasan kenapa prolegnas diabaikan oleh DPR itu saya yang nggak tahu, tapi apakah presiden tidak terlibat, bohong kalau dia nggak terlibat," kata Feri Amsari.
Baca Juga:
Profesor LIPI Nilai Publik Bakal Bersikap Resistensi Terhadap UU KPK
Feri mengatakan ada keterlibatan presiden dalam revisi UU KPK. Namun, dia enggan untuk melontarkan bukti atas tudingannya itu. Kendati, dia menilai, DPR tidak akan melanjutkan bahasan revisi UU KPK jika tidak ada sinyal dari istana.
"Sinyal dari istana penting karena sulit bagi mereka bekerja tanpa ada kepastian dan kalau nggak ada sinyal dari istana juga buat apa mengerjakan UU KPK sementara masa jabatan mereka dikit lagi habis," pungkasnya.(Knu)
Baca Juga:
Dianggap Bermasalah, MK Bakal Kebanjiran Judicial Review UU KPK
Bagikan
Berita Terkait
Politikus PKS Usul Perampasan Aset Disatukan Dengan Revisi Undang-Undang KPK, Hindari Aparat Gunakan Sebagai Alat Pemerasan

KPK Dalami Peran Gubernur Kalbar Ria Norsan di Kasus Proyek Jalan Mempawah

Cerita Ajudan Saat Jokowi Pemulihan Sekaligus Liburan di Bali Bersama Semua Cucu

Kolaborasi Bareng KPK Kampanyekan Antikorupsi, Rhoma Irama Doakan Pejabat tak Pakai Rompi Oranye

KPK Usut Dugaan Korupsi di Kalbar, Penyidik Mulai Lakukan Penggeledahan

Anggota Watimpres Era Presiden Jokowi, Djan Faridz Jalani Pemeriksan KPK

Dituding Lemahkan KPK Lewat Revisi UU, Jokowi: Kronologinya Harus Dilihat secara Runtut

UU KPK Digugat Pimpinannya Sendiri

Pulang ke Solo, Jokowi Akan Dilibatkan dalam Kegiatan Kampung oleh Pengurus RT/RW Setempat

H-1 Pensiun, Mural Infrastruktur Era Jokowi Mejeng di Jalan Slamet Riyadi
