Peneliti ITB Lakukan Penelitian Longsor-Tsunami Gunung Anak Krakatau Tahun 2018


Dokumentasi erupsi Gunung Anak Krakatau. (Dok ITB)
MerahPutih.com - Sejumlah peneliti melakukan penelitian dan survei Gunung Anak Krakatau yang pernah memicu tsunami pada 22 Desember 2018. Penyebab tsunami adalah longsor bawah laut akibat erupsi gunung di tengah Selat Sunda itu.
Penelitian dilakukan volkanolog ITB, Dr. Mirzam Abdurrachman yang berkolaborasi dengan tim peneiliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta tim Inggris dan Amerika meneliti endapan bencana longsor-tsunami pulau Anak Karakatau.
Baca Juga
Kolaborasi para ilmuwan tersebut dilakukan dalam rangka mempelajari endapan bencana longsor-tsunami pulau vulkanik Anak Krakatau segera setelah kejadian dengan menggunakan peralatan akustik modern.
Tim yang diketuai oleh Dr. James Hunt dari National Oceanography Center (NOC) itu telah menghasilkan hasil survei lautan pertama dari longsor 22 Desember 2018 di Anak Krakatau, di Indonesia, yang menciptakan tsunami senyap mematikan yang melanda pesisir selatan Sumatera dan Barat Jawa.
"Pada Agustus 2019, tim multinasional lintas disiplin ini memetakan dasar laut di kaldera Krakatau. Survei menggunakan sonar untuk memetakan permukaan dasar laut, sedangkan metode refleksi seismik digunakan untuk melihat ke bawah dasar laut," ujar Dr. Mirzam Abdurrachman, Selasa (18/5).
Dia menjelaskan, penelitian ini menunjukkan deposit bawah laut yang besar dari longsor Anak Krakatau 2018 dan struktur internalnya, serta menunjukkan ukuran utuh dan cara bagaimana deposit tersebut diendapkan di dasar laut.
Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal prestisius Nature Communications dalam sebuah paper berjudul: “Megablocks on the seafloor reveal that half of Anak Krakatau island collapsed into the sea to cause the 2018 Sunda Strait tsunami, Indonesia”.

Tim juga terlibat dalam menganalisis citra dan foto satelit untuk mempelajari peristiwa longsor di atas permukaan laut. Dengan menganalisis citra satelit (terutama dari COSMO-SkyMed) dan foto, para ilmuwan dapat menjelaskan tingkat keruntuhan subaerial secara menyeluruh.
Dr. Mirzam melanjutkan, tim menghitung bahwa separuh pulau runtuh, menunjukkan runtuhan yang jauh lebih luas atau besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Citra satelit juga menunjukkan pembebanan sisi barat daya Anak Krakatau dengan lava dan ejecta pada bulan-bulan sebelum longsor.
Pada saat yang sama deformasi, patahan dan ventilasi gas ditemukan telah terjadi di pulau tersebut dan menggambarkan perkiraan area yang akan runtuh. Proses-proses ini mungkin juga pada akhirnya berkontribusi pada keruntuhan bagian sayap pada tahap selanjutnya.
"Berdasarkan kejadian ini, longsoran yang terjadi cukup besar (~0,214 km3) cukup untuk mengubur Kota London hingga setinggi Katedral St Paul. Blok-blok dari longsoran ini naik hingga 90 meter di atas dasar laut dan menempuh jarak 1.5 km dari Anak Krakatau," jelasnya.
Temuan juga menunjukkan bahwa mega block hasil longsoran tersebut terkikis ke dasar laut dan menghasilkan aliran puing-puing tambahan yang mengalir ke cekungan yang lebih dalam.
Namun, yang mengherankan aliran puing-puing dan bagian-bagian tanah longsor kini terkubur di bawah material letusan setinggi 18 meter.
Selain itu, tim menemukan bahwa letusan pasca longsor menghasilkan material untuk membangun kembali tubuh kerucut gunungapinya dengan cepat, dan sebagian besar material yang dihasilkan Anak Krakatau tersebut sebenarnya kembali diendapkan di dasar laut.
Hal ini mendukung perlunya survei longsoran 2018 sesegera mungkin sebelum terkubur oleh material letusan berikutnya atau pun akibat modifikasi lingkungan laut yang dinamis.
“Penelitian ini memungkinkan kami untuk menjelaskan ukuran dan mekanisme kegagalan longsor 2018 di Anak Krakatau. Ini adalah pertama kalinya studi longsor-tsunami pulau vulkanik menggabungkan citra satelit dan pemetaan dasar laut secara mendetail. Peristiwa serupa terakhir adalah bencana longsor-tsunami di Pulau Ritter yang terjadi pada tahun 1888," tambah Mirzam.
“Dengan mengkarakterisasi endapan tanah longsor dan memetakan dasar laut, kami bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kegagalan sisi barat daya Anak Krakatau. Dengan pengetahuan ini berarti bahwa kita dapat memodelkan tsunami yang dihasilkan dengan lebih baik, serta memberikan tolok ukur untuk kejadian serupa. Informasi ini pada gilirannya memungkinkan kami untuk merancang strategi mitigasi bahaya dengan lebih baik,” pungkasnya. (Imanha/Jawa Barat)
Baca Juga
Netizen Ramai Bicarakan Suara Dentuman, PVMBG: Bukan dari Letusan Anak Krakatau
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
GIIAS 2025 Ramai Pengunjung Tapi Penjualan Turun, Pemerintah Diminta Percepat Infrastruktur BEV dan Beri Insentif LCGC

Bahaya Tersembunyi di Balik Bensin Tercampur Solar, Siap-Siap Kantong Jebol

ITB Bakal Dampingi dan Bina Mahasiswi Pembuat Meme Prabowo - Jokowi

Mahasiswi ITB Pengunggah Meme Tak Senonoh Prabowo dan Jokowi Dikeluarkan dari Penjara, Diminta Lanjutkan Kuliah

ITB Beri Pendampingan untuk Mahasiswi yang Ditangkap Gara-Gara Meme Prabowo Jokowi, Keluarga Minta Maaf

2.000 Tim Ekspedisi Patriot Segera Diberangkatkan, Gali Potensi Ekonomi dan Transmigrasi Gaya Baru

Begini Dampak Oplos BBM Ron 90 Dijual Serasa Ron 92, Masyarakat Diminta Tidak Khawatir

Pakar Bioteknologi ITB Sebut Penyesuaian Tarif Air Bersih di Jakarta Tak Bisa Dihindari

Mahasiswa Teknik ITB Diduga Bunuh Diri, Lompat dari Lantai 27 Apartemen

Tetap Gunakan Pinjol, ITB Ubah Mekanisme Pemberian Pinjaman
