Nasib E10 Tergantung Tebu dan Pabrik Gula, Begini Peringatan Profesor ITB

SPBU Pertamina.(foto: dok Pertamina)
Merahputih.com - Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Ir. Ronny Purwadi, M.T., Ph.D, menekankan bahwa penerapan BBM E10 memerlukan kesiapan menyeluruh dari hulu ke hilir. Tujuannya agar program ini tidak hanya sekadar sukses di atas kertas, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi jangka panjang yang nyata bagi Indonesia.
"Penerapan E10 adalah langkah awal yang baik untuk membantu misi menekan emisi, namun harus diiringi dengan penataan yang rapi," ujar Ronny, Selasa (21/10).
Ia juga menyoroti keharusan untuk memperkuat industri etanol nasional. Hal ini krusial agar Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan impor. Ronny menjelaskan, jika industri etanol lokal kuat, ia dapat bersaing dan menggantikan produk impor, menciptakan efek pengganda (multiplier effect) bagi industri dalam negeri.
Baca juga:
Biodiesel 50 Bakal Tekan Harga Sawit Petani, SPKS Desak Pemerintah Hati-Hati
Ronny, yang berfokus pada teknologi pengolahan biomassa dan pangan, mengambil contoh dari industri tekstil yang melemah akibat serbuan produk impor. Ia memperingatkan bahwa jika etanol sepenuhnya diimpor tanpa upaya penguatan industri lokal, nasib serupa bisa menimpa sektor ini. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk membenahi seluruh sektor, mulai dari kualitas tebu di perkebunan hingga efisiensi produksi di pabrik.
"Kebunnya harus menghasilkan tebu berkualitas, pabriknya harus efisien, jangan sampai rugi karena ongkos energi terlalu besar, jika misalnya mau etanol yang dari gula," tambahnya.
Senada dengan Ronny, peneliti ITB dan Anggota Komite Teknis Bahan Bakar dan Bioenergi Kementerian ESDM, Prof. Dr. Eng. Ir. Iman K. Reksowardojo M. Eng, menekankan pentingnya koordinasi antarkementerian yang solid. Ia menyarankan pemerintah menyusun peta jalan (roadmap) transisi energi yang realistis dan terukur, serta mengingatkan bahwa konsistensi pelaksanaan lebih vital daripada sekadar penetapan target.
Iman menambahkan bahwa implementasi E10 harus bertahap, tidak tiba-tiba, serta didukung oleh insentif fiskal dan regulasi yang memadai.
Baca juga:
BBM Baru Bikin Was-Was! DPR Tegaskan Mesin Mobil di Indonesia Belum Ramah Etanol 10 Persen
Ronny kemudian menyarankan Indonesia belajar dari Brasil, di mana industri tebu, gula, dan etanol dikelola secara terpadu dalam satu ekosistem bisnis. Menurutnya, pemisahan antarsektor di Indonesia saat ini menjadi tantangan yang cenderung menaikkan biaya produksi.
Dengan adanya kolaborasi lintas sektor, pemberian insentif yang tepat, dan pengembangan industri domestik, para pakar yakin bahwa E10 dapat menjadi fondasi penting menuju ketahanan energi nasional yang berkelanjutan.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia masih dalam tahap penyusunan peta jalan untuk implementasi E10 (BBM dengan 10% etanol). Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa E10 direncanakan untuk diimplementasikan mulai tahun depan.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Nasib E10 Tergantung Tebu dan Pabrik Gula, Begini Peringatan Profesor ITB

Pakar Otomotif ITB Jelaskan Higroskopis Beda Jauh dari Korosif, Jamin E10 Ramah Mesin

BBM E10 Rusak Mesin? Guru Besar UB Bongkar Mitos yang Bikin Rugi

BBM 'Hijau' Bikin Was-Was, Kementerian ESDM 'Paksa' Industri Otomotif Uji Ketahanan E10

Bye-Bye Knocking! BBM E10 Bikin Mobil Modern Senyum, Mesin Tua Auto Menangis

DPR RI Desak Pemerintah dan Aparat Hukum Tindak 13 Perusahaan Diduga Kongkalikong Solar Subsidi

Guru Besar ITB Sebut Campuran 10 Persen Etanol Langkah Visoner Optimalkan Bahan Naku Lokal Indonesia

BBM Baru Bikin Was-Was! DPR Tegaskan Mesin Mobil di Indonesia Belum Ramah Etanol 10 Persen

Menteri Bahlil Ingatkan SPBU Swasta Ikuti Aturan, Termasuk Urusan Kuota Impor BBM
Menteri Bahli Putuskan Pakai B50, Indonesia Setop Impor Solar Mulai 2026
