Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme Dinilai Ilegal


Ilustrasi Anggota TNI AD. Foto: Istimewa
MerahPutih.com - Kementerian Hukum dan HAM RI menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Perpres tersebut sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Draf tersebut telah dikirim ke DPR RI pada 4 Mei 2020 untuk mendapat persetujuan.
Baca Juga
Eks Dirut PT Dirgantara Indonesia Akui Diperiksa KPK sebagai Tersangka
Praktisi Hukum Petrus Selestinus menilai, menarik TNI dalam mengatasi aksi terorisme tanpa memperjelas secara terukur fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan melalui revisi UU TNI tak bisa memberikan legitimasi.
"Ini mereduksi fungsi TNI untuk tugas Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan sebagai sebuah Tindakan Hukum yang secara operasional seharusnya diatur dengan UU bukan dengan Perpres," kata Petrus kepada MerahPutih.com di Jakarta, Sabtu (6/6).
Pria asal NTT ini menjelaskan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak boleh terjebak dalam cara berpikir praktis dan pragmatis ketika menggunakan wewenang membuat kebijakan dan keputusan politik Negara melalui Perpres yang pada pasal 3 sampai dengan pasal 12. Padahal, isinya terkesan tidak punya bobot filosofis, sosiologis dan yuridis.
"DPR RI sebaiknya mengembalikan RPerpres dimaksud agar segera revisi UU TNI terlebih dahulu agar garis regulasinya jelas dan proporsional mana bagian hulu mana bagian hilir," jelas Petrus.

Ia menjelaskan, sebagai sebuah regulasi organik dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka RPerpres itu menjadi mubazir, tidak efektif dan efesien menjamin bekerjanya fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan.
"Potensi menimbulkan overlaping dalam penggunaan wewenang antara TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme sangat mungkin terjadi," sebut Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia ini.
Advokat senior dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menegaskan fungsi TNI harus jauh lebih kuat dari penanganan terorisme dan ancaman global yang makin mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, TNI harus mengoreksi keputusan politik negara berupa Perpres yang rancangannya sudah dibuat Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly.
Menurutnya, selain karena isinya tidak memetakan secara tegas dan terperinci mana tugas yang menjadi domain TNI dan mana yang menjadi domain Polri, juga TNI belum punya Hukum Acaranya.
“Ini jelas politiking dan membingungkan, terlebih-lebih karena baik TNI maupun Polri dua-duanya memiliki fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan dalam lingkup wilayah yang berbeda yaitu TNI di hulu dan Polri di hilir tetapi di dalam RPerpres tidak dirumuskan batasan fungsi TNI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan,” tegas Petrus
Ia mengatakan TNI sebagai alat pertahanan negara mengemban tiga fungsi yaitu fungsi Penangkalan, Penindakan, dan Pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer selain perang.
Di antaranya mengatasi Aksi Terorisme melalui keputusan politik Negara. Selain itu, untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Yang jadi masalah adalah fungsi TNI yang diatur oleh UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI khusus untuk mengatasi aksi terorisme, selama ini nyaris tak terdengar. Malah yang menonjol justru peran yang dilaksanakan oleh Polri dengan payung hukum UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Sedangkan untuk TNI, fungsi mengatasi aksi terorisme tidak diatur secara lebih jelas dan konprehensif dalam UU TNI atau melalui revisi UU TNI," ungkap Petrus.
Baca Juga
New Normal di Solo, Anak dan Pelajar Dilarang ke Mal dan Tempat Wisata
Petrus menyayangkan pendirian Pemerintah yang ingin mengefektifkan fungsi TNI untuk bidang Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan aksi terorisme pada bagian hulu aksi terorisme, tetapi payung hukumnya hanya dengan sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i ayat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berada pada bagian hilir.
"Jadi tidak boleh langsung dengan Perpres tetapi harus diatur terlebih dahulu dengan UU. Apalagi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI belum mengatur secara memadai fungsi TNI untuk Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan mengatasi aksi terorisme," tutup Petrus. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Peran Anggota Kopassus Tersangka Penculikan Kacab BRI, Serka N Perantara Lainnya Eksekutor

Disuruh Culik dan Bunuh Kepala Cabang BRI, 2 Anggota TNI Minta Uang Jutaan Rupiah

Jadi Tersangka, 2 Anggota TNI Dijanjikan Rp 100 Juta untuk Culik dan Bunuh Kepala Cabang BRI

TNI Masih Siaga Jaga Gedung Parlemen, Menhan Belum Akan Tarik Pasukan

Jelang HUT TNI, 100 Ribu Tentara dari 3 Matra Siap Guncang Monas

Kasus Anggota TNI Kopda FH Tersangka Pembunuhan Kacab BRI Masuk Peradilan Militer

Kopda FH Tersangka Kasus Pembunuhan Kacab BRI, TNI dan Polda Metro Bakal Gelar Perkara Bareng

Motif Anggota TNI Kopda FH Terlibat Penculikan dan Pembunuhan Kacab BRI karena Uang

Anggota TNI di Wonosobo Tewas Saat Melerai Pertikaian, Polisi Militer Tengah Menyelidiki

Resmi Tersangka, Ini Peran Anggota TNI Kopda FH dalam Pembunuhan Kacab BRI
