Pakar Hukum Nilai Putusan MK Soal Hak Angket Aneh


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (keempat kanan) memimpin sidang gugatan UU MD3 di Jakarta, Kamis (8/2). (Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)
MerahPutih.com - Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU MD3 terkait dengan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Menurut saya, ini adalah putusan yang aneh, karena putusan ini kontradiktif," kata Zainal seperti dilansir Antara, Jumat (9/2).
Dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mirip dengan Kejaksaan dan Kepolisian karena memiliki fungsi-fungsi eksekutif.
Tapi di sisi lain dikatakan KPK tidak boleh mendapatkan angket untuk penyidikan, penuntutan, dan penyelidikan, sehingga hal ini tentu menjadi sangat kontradiktif, jelas Zainal.
"Padahal 'pintu masuknya' karena permasalahan itu, tapi pada saat yang sama itulah tidak boleh diangket," tambah Zainal.
Selain itu Zainal menilai putusan Mahkamah atas ketentuan hak angket tersebut seolah-olah membatalkan beberapa putusan Mahkamah sebelumnya.
Terdapat empat putusan Mahkamah yang sebelumnya menyatakan bahwa KPK adalah lembaga independen yang memiliki kekuasaan yudikatif.
Keempat putusan Mahkamah tersebut bernomor; 19/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007, 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010, dan 5/PUUIX/2011 tertanggal 20 Juni 2011.
"Tapi kemudian putusan ini dia bilang KPK adalah eksekutif, lantas apa dasar perubahan itu, ini seperti MK kemarin bilang KPK itu tahu kok hari ini KPK tempe," kata Zainal.
Pada Kamis (8/2) lima hakim konstitusi sepakat untuk menolak permohonan uji materi UU MD3 terkait dengan hak angket DPR kepada KPK.
Dalam pertimbangan kelima hakim konstitusi tersebut, dijelaskan bahwa KPK merupakan bagian dari ranah eksekutif mengingat tugas dan fungsi KPK yang berada dalam domain eksekutif.
Lima hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara, dalam hal ini adalah Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami krisis kepercayaan publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara itu Kepolisian dan Kejaksaan dalam undang undang masuk ke dalam ranah eksekutif.
Dengan demikian putusan Mahkamah menyatakan bahwa DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik.
Namun terdapat empat hakim konstitusi lainnya yaitu; Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). (*)
Bagikan
Berita Terkait
Eks Dirut Antam Bantu KPK Bongkar Kecurangan Pengelolaan Anoda Logam lewat Audit Internal

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak Bertemu Tersangka Korupsi EDC BRI, Dewas Turun Tangan

DPR Sebut Tayangan Xpose Trans7 Dekonstruksi Nilai Pesantren, Menistakan Jati Diri Bangsa

Buntut Tayangan Diduga Penghakiman Sepihak Pesantren, DPR-KPI Kompak Mau 'Coret' Program Pembawa Gaduh

PKB Desak Trans7 Sowan Langsung ke Lirboyo, Bagaimana Nasib Alumni Santri yang Sudah Sambangi Kantor Redaksi?

DPR Kembali Utak-Atik Anggaran, Lupa Peristiwa 27-30 Agustus?

Konten Lecehkan Kiai, DPR Desak KPI Audit dan Setop Siaran Xpose Trans7

DPR Desak Trans7 Akui Dosa Tayangan Xpose Buntut Kharisma Kiai Jadi Guyonan

Telisik Dugaan Kasus Korupsi Antam, KPK Jadwalkan Periksa Ayah Eks Menpora Dito Ariotedjo

DPR Wajibkan Laporan Reses via Aplikasi, Anggota Mangkir Terancam Sanksi
