Open Relationships, Kunci untuk Lebih Bahagia?


Pernikahan di masa kini tak lagi sama. (foto: unsplash/nathan walker)
PERNIKAHAN masa kini tidak seperti dulu. Untuk sebagian besar sejarah manusia, pernikahan dipandang sebagai pengaturan ekonomi dengan suami dan istri memenuhi kewajiban khusus yang berpusat pada membesarkan anak-anak dan memelihara harta keluarga. Pada abad ke-19, gagasan menikah karena cinta dipandang sebagai hal yang ideal, dan pada abad ke-20 sudah menjadi norma.
Namun, di abad ke-21, kita berharap lebih dari pernikahan. Kita ingin pasangan menjadi belahan jiwa kita—satu-satunya orang di dunia yang memenuhi semua kebutuhan sosial, emosional, dan seksual.
Menurut ilmuwan di bidang hubungan percintaan Eli Finkel, kita berharap begitu banyak dari hanya satu orang sehingga kita akhirnya 'mencekik' pernikahan. Ketika 'belahan jiwa' gagal memenuhi salah satu kebutuhan, kita bingung karena tidak ada orang lain yang bisa diandalkan.
BACA JUGA:
Untuk memberi pernikahan kita lebih banyak 'oksigen', kita perlu lebih mengandalkan orang lain untuk melayani sebagai sahabat dan orang kepercayaan. Namun, apa yang terjadi ketika pasangan kita tidak mau atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual?
"Hubungan intim dimulai dengan hasrat seksual tingkat tinggi untuk kedua pasangan, tetapi setelah beberapa tahun hasrat yang membara itu berubah menjadi cahaya keterikatan yang hangat," ujar profesor psikologi di Georgia Gwinnett College, AS, David Ludden, Ph.D. dalam artikel yang ditulisnya di Psychologytoday.com (4/6).

Menurutnya, pada titik ini, salah satu pasangan (biasanya laki-laki, tetapi tidak selalu), menginginkan lebih banyak seks daripada yang lain. Beberapa pasangan berhasil menegosiasikan kompromi yang sesuai, tetapi sering kali frekuensi seks ditentukan oleh pasangan yang berhasrat rendah, membuat yang lain frustrasi terus-menerus.
"Jika pasangan dapat memenuhi kebutuhan psikologis lain di luar pernikahan, mereka harus dapat pergi ke luar hubungan untuk memenuhi kebutuhan seksual. Ini adalah logika di balik non-monogami konsensual, di mana pasangan yang sudah menikah mengizinkan satu sama lain untuk mengambil pasangan seks tambahan," Ludden menjelaskan.
Namun, apakah orang-orang dalam hubungan terbuka lebih bahagia daripada rekan-rekan monogami mereka? Inilah pertanyaan yang dieksplorasi oleh psikolog Universitas York (Toronto) Amy Muise dan rekan-rekannya dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships.
Dinamika Non-Monogami Konsensual
Dalam membahas non-monogami konsensual atau disingkat CNM (consensual non-monogamy), kita perlu membedakan antara hubungan primer, yang mengacu pada dua pasangan asli dalam hubungan berkomitmen, dan hubungan sekunder yang dibangun masing-masing pasangan dengan kekasih di luar nikah mereka. Menurut Ludden, CNM hadir dalam tiga variasi:
1. Pernikahan Terbuka atau Open Marriages
Setiap pasangan dapat mengambil satu atau lebih pasangan intim, umumnya di bawah seperangkat aturan yang disepakati sebelumnya. Biasanya, pasangan utama tidak bersosialisasi dengan masing-masing pasangan sekunder mereka.
2. Swinging
Pasangan bertukar pasangan dengan satu atau lebih pasangan lain untuk malam itu, tetapi mereka biasanya pulang bersama. Pasangan primer dan sekunder semuanya saling mengenal, tetapi seks di luar nikah hanya terjadi dalam acara swinging tersebut.
3. Poliamori
Ini mirip dengan pernikahan terbuka, kecuali bahwa pasangan primer dan sekunder saling mengenal dan memiliki keterikatan hubungan. Beberapa praktisi bahkan membentuk keluarga poli yang diperluas yang dikenal sebagai “polycules.”
Praktisi memuji kebajikan CNM, dan penelitian dari awal 1980-an menunjukkan bahwa hubungan sekunder dapat meningkatkan kepuasan dalam hubungan utama. Namun demikian, baik awam maupun spesialis hubungan sama-sama sering memiliki sikap negatif tentang pilihan gaya hidup ini.
Tiga Temuan dalam Penelitian CNM
Muise dan rekan mensurvei lebih dari 1.000 individu dalam hubungan CNM. Responden ini melaporkan sejauh mana pasangan primer dan sekunder mereka memenuhi kebutuhan seksual. Mereka juga menunjukkan kepuasan seksual dan hubungan untuk kedua pasangan.
Studi ini menghasilkan tiga temuan utama:
1. Ketika orang-orang dalam hubungan CNM dipenuhi secara seksual oleh pasangan utama mereka, mereka juga melaporkan kepuasan yang lebih besar dengan hubungan sekunder mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya beberapa praktisi CNM tidak mencari hubungan sekunder untuk mengkompensasi kekurangan dalam hubungan utama mereka. Sebaliknya, mereka melakukannya untuk memperluas pengalaman seksual mereka secara umum.
2. Laki-laki yang lebih terpenuhi secara seksual oleh pasangan sekundernya juga menunjukkan bahwa mereka secara umum lebih puas dengan hubungan primer mereka. Temuan ini memberikan dukungan untuk gagasan bahwa meluaskan pengalaman seks ke hubungan sekunder dapat membebaskan pasangan utama untuk menyediakan kebutuhan lain, seperti persahabatan dan dukungan emosional. Namun, penting untuk dicatat bahwa hanya pria yang diuntungkan dengan cara ini.
Tak ayal pola ini muncul karena pria umumnya memiliki dorongan seks yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Dengan demikian, membuka pernikahan memberi mereka cara alternatif untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, dan sebagai hasilnya mereka lebih puas dengan jenis dukungan lain yang diberikan istri mereka. Bisa jadi perempuan dengan dorongan seks yang lebih tinggi daripada suami mereka juga bisa mendapatkan keuntungan dari outlet seksual alternatif.
3. Perempuan yang lebih dipenuhi secara seksual oleh pasangan sekundernya menunjukkan kepuasan seksual yang lebih rendah dalam hubungan primernya. Penting untuk diingat bahwa data ini bersifat korelasional, jadi tidak jelas apa penyebabnya. Bisa jadi begitu seorang perempuan menemukan kekasih yang memuaskan, dia menyadari betapa mengecewakan suaminya di tempat tidur. Namun, menurut Ludden, lebih masuk akal untuk menafsirkan asosiasi ini ke arah yang berlawanan. Yaitu, perempuan (seperti laki-laki) mencari pasangan sekunder justru karena mereka tidak puas secara seksual dalam hubungan utama mereka.
Secara keseluruhan, tiga temuan itu mendukung gagasan bahwa nonmonogami konsensual dapat memberikan 'oksigen' untuk pernikahan yang 'mencekik'. Ketika hasrat seksual merosot dalam hubungan yang sudah mapan, pasangan dengan dorongan seks yang lebih tinggi dapat memenuhi kebutuhan seksualnya dengan pasangan sekunder, membebaskan pasangan utama untuk memberikan lebih banyak hal terbaik yang mereka dapat lakukan: persahabatan dan dukungan emosional.
"Dengan mengabaikan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan seksual pasanganmu, kamu mengurangi stres dalam pernikahan dan membiarkan lebih banyak emosi positif menang," kata Ludden.
Sementara itu, CNM memberikan manfaat bagi banyak dari mereka yang mempraktikkannya, ada juga kesulitan yang cukup besar untuk diatasi, sehingga sulit bagi banyak orang untuk berhasil melakukannya. "Kesulitan yang paling jelas adalah kecemburuan. Perasaan itu harus diganti dengan perasaan bahagia karena melihat kebahagiaan pasangan," dia menekankan.
Selain itu, menurutnya, praktisi CNM harus terampil dalam berkomunikasi, karena aturan dasar harus ditetapkan dengan jelas sebelumnya dan tidak ada yang bisa dirahasiakan atau disembunyikan. "Bagi mereka yang bisa melewati rintangan ini, non-monogami konsensual bisa menjadi pengalaman yang menyegarkan," demikian Ludden. (aru)
Bagikan
Berita Terkait
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres

Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya

Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui

Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan

Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja

Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja

Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja

Pelan Tapi Pasti Hempas Insecure, Ini 5 Cara Mudah Tingkatkan Kepercayaan Diri
