Kisah Cinta Terakhir Presiden dengan Gadis Kutai Kartanegara


Heldy Djafar saat masih kecil (Buku: Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno)
KUTAI Kartanegara dan Penajam Paser Utara, jadi perbincangan hangat di media sosial begitu Presiden Joko Widodo menetapkan kedua wilayah itu sebagai lokasi ibu kota baru.
Perbincangan seputar lokasi tersebut meluas. Mulai dari letak strategis dan geografis, ekonomi, kedaulatan, hingga hal remeh-temeh seperti nama ibu kota baru.
Kenangan bangsa Indonesia terhadap Kutai Kartanegara (Kukar), tak hanya terpatri pada kerajaan besar bercorak Hindu, namun juga pada sejarah Presiden Sukarno dan kisah cinta sang presiden.
Suara Bung Besar

Gadis berusia sepuluh tahun itu terperanjat melihat lalu lalang orang, laki-perempuan, tua-muda, mengiringi mobil bak terbuka sambil meneriakkan pengumuman rencana kedatangan orang penting.
Ia masih berdiri di depan rumahnya, Jalan Mangkurawang 9, Tenggarong, Kutai Kertanegara, mengamati masyarakat lingkungannya berebut selebaran nan menyembul dari dalam mobil bak.
Dari informasi sang kakak, Heldy-nama si gadis itu, Presiden Sukarno akan memberi pidato di alun-alun Samarinda. Ia meminta ikut namun ditolak kakaknya karena masih terlalu kecil.
Begitu melihat kakaknya telah hilang ditelan rombongan menuju alun-alun, Heldy menangis meraung-raung minta ikut.
"Mau lihat presiden, mau lihat presiden," kenang Heldy Djafar pada Ully Hermono, Heldy Cinta Terakhir Bung Karno.
Orang tuanya membiarkan rengekan itu, lalu memintanya cukup mendengarkan pidato Bung Karno lewat radio.
Setengah kecawa, Heldy pun akhirnya mengiyakan.
"Suara itu terasa nyaman di telinga, membuat tenteram, dan seolah bicara hanya untukku," kenangnya.
Pagar Ayu Istana

Heldy hijrah ke Jakarta setamat SMP. Gadis kelahiran Tenggarong, 10 Agustus 1947 itu, menumpang di rumah kakaknya Jalan Ciawi III, Nomor 4, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Yus, kakaknya, dipercaya pihak Istana Negara menyiapkan remaja putra-putri dari tiap provinsi menjadi pagar ayu dan pagar bagus di Istana Negara, atau tersohor dengan sebutan Barisan Bhinneka Tunggal Ika.
Heldy terpilih mewakili Kalimantan. Di hari pelaksanaan, putri pasangan H Djafar dan Hamiah itu, tampil mengesankan dengan kebaya, selendang, dan kain lereng. Ia bersama remaja lain berdiri berjajar di tangga untuk menyambut Bung Karno.
Sang Presiden pun tiba, berjalan menaiki anak tangga, lalu berhenti dan menepuk bahu kiri Heldy.
"Dari mana asal kamu," tanya Sukarno.
"Dari Kalimantan, Pak".
"Oh aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan cantik," lanjut Bung Karno.
Pertemuan singkat pertama itu begitu tengiang di kepala Heldy. Kelak, sebagai pagar ayu Barisan Bhinneka Tunggal Ika, ia akan bertemu lebih sering dengan pujaannya.
BACA JUGA:
Hatta Belum Juga Tiba, Sukarno Enggan Membacakan Proklamasi
Menari Lenso

"Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?" tanya Bung Karno pada Heldy.
"Sakit, Pak".
"Nanti kau (menari) Lenso dengan aku. Sini kau duduk dekat aku," pinta Si Bung.
Tak lama musik Lenso merancak. Sukarno lantas mengajak Heldy berdansa. Bung Karno nan lihai melantai lalu mengajarinya berlenso.
Di sela dansa, Bung Karno membuka obrolan mengenai hal-hal pribadi, seperti sekolah, umur, dan lainnya.
Sejak menari Lenso bersama, hubungan keduanya berlanjut. Bung Karno pun menyambangi rumahnya.
Cinta Terakhir

Lampu teras rumah Erham, tempat Heldy tinggal, sengaja dimatikan. Redup. Sebarisan pria membuat barikade. Tak lama, sesosok pria berpeci masuk ke ruang tamu.
Ia bukan tamu sembarangan.
Empunya rumah, Erham, semringah menyambut tamu agung, Presiden pertama Republik Indonesia.
Setelah berkenalan dan ramah-tamah, Bung Karno secara gamblang mengungkapkan maksud kedatangannya untuk mempersunting Heldy.
Heldy tak langsung mengamini. Ia berdalih masih terlalu muda. Pertemuan itu berakhir tanpa kesepakatan ke jenjang pernikahan. Di akhir pertemuan, Bung Karno memberikan kenang-kenangan berupa jam tangan Rolex.
Meski ditolak, hubungan keduanya tak berakhir. Mereka tetap bertemu dan berbincang hangat. Peristiwa tragis di tahun 1965 sempat membuat mereka terpisah.
Mei 1966, Heldy diminta datang ke Istana. Ia bertemu dengan Sukarno dalam keadaan letih akibat pergolakan peristiwa 65. Di hadapan Heldy, Sukarno lantas meminang kembali gadis asal Tenggarong itu.
"Saya tidak bisa menolak Bapak, hubungan kita sudah terlanjur dekat. Saya mau menikah dengan Bapak," jawab Heldy.
Pernikahan itu pun terjadi dengan disaksikan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Idham Chalid, Erham Djafar selaku wali, dan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri.
Heldy menjadi petualangan asmara terakhir sebelum Bung Karno berpulang pada 21 Juni 1970. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Jadi Tamu Utama HUT ke-76 India, Prabowo Ikuti Jejak Sukarno 75 Tahun Silam

Legislator Harap Segera Ada Kepala OIKN Definitif untuk Selaraskan Visi-Misi Prabowo

Jokowi Isyaratkan Prabowo yang Teken Keppres Pemindahan Ibu Kota ke IKN

Guntur Sebut Pendongkelan Kepemimpinan Sukarno tidak Sah
Pembangunan IKN Terhambat, Jokowi Ungkap Penyebabnya

Pengamat Nilai Reputasi Negara Dipertaruhkan Saat Upacara HUT RI di IKN

Nasib Kantor Milik Pemerintah Pusat Saat Ibu Kota Pindah ke IKN

Ibu Kota Pindah ke IKN, GBK dan Monas Tetap jadi Aset Negara

Argumen Otorita Ibu Kota Nusantara Gelar Upacara HUT RI di Dua Tempat

Bangun IKN Sudah Habiskan Duit Rp 37, 41 Triliun
