Kerugian Negara Kasus Asabri Harus Nyata dan Pasti Jumlah


MerahPutih.com - Perhitungan Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI dalam kasus dugaan korupsi PT Asabri, memunculkan kesimpulan kerugian negara mencapai Rp 22,788 triliun. Hal itu tercantum dalam tuntuan hukuman pada terdakwa oleh Kejaksaan Agung sehingga menuntut hukuman mati pada satu orang terdakwa.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda mengatakan, ada perbedaan persepsi terkait dengan kerugian keuangan negara dalam kasus PT ASABRI. Sebagian menilai keuangan ASABRI bukanlah kerugian keuangan negara.
Baca Juga:
Tuntut Hukuman Mati Terdakwa Asabri, Pakar Hukum: Jaksa Agung Harus Hati-hati
Ia menilai, persepsi terkait dengan fakta kerugian negara dinilai secara tidak benar. Karena, kerugian itu harus fix atau nyata dan pasti jumlahnya. Sehingga, menurutnya, Kasus ASABRI, bisa diproses secara hukum pidana umum, bukan tindak pidana korupsi sesuai UU Asuransi.
"Dalam penegakan hukum kasus ASABRI memiliki masalah dalam persepsi kerugian negara yang tidak sesuai dengan teori. Tetapi maunya sendiri sebagai penguasa atau Kejaksaan Agung)," katanya.
Sementara Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan, harus ada penegasan pemisahaan keuangan negara dan iuran Asabri, apakah itu masuk dana keuangan negara seperti dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 atau tidak.
Selain itu, harus ada auditor lain yang relevan dan kompeten untuk mengatakan bahwa dana tersebut apakah termasuk kerugian negara, sehingga BPK tidak menjadi pemain tunggal dalam perhitungan dugaan kerugian negara dalam kasus ini.
"Sebaiknya BPKP dapat juga menilai. Selain itu Majelis Kehormatan Kode Etik BPK seharusnya melakukan waskat," kata dia.
Akbar menilai, jika dalam investasi saham, seharusnya ada pengawasan dan pengamanan terhadap harga saham agar tidak merugikan pihak ketiga. Namun menurutnya dalam penanganan kasus Asabri, jika merujuk pada UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka sebaiknya sanksi administratif terlebih dahulu dilakukan.
Baca Juga:
Hasil Korupsi Diparkir di Singapura, Satu Negara di Luar Asia Siap Serahkan Aset Asabri
"Selain itu, pengembalian kerugian negara yang diutamakan, bukan hanya penghukuman badan," katanya dalam keteranganya, Selasa (7/12).
Hal serupa sebelumnya juga pernah disampaikan aktivis HAM sekaligus praktisi hukum Haris Azhar, bahwa dalam pandangannya terkait kasus-kasus seperti ASABRI atau Jiwasraya, terlihat jelas pemerintah hanya sebatas ingin melakukan penegakan hukum saja tanpa keinginan untuk memberikan kepastian hukum.
"Pemerintah tidak memertimbangkan dampak panjangnya yang terjadi kepada pihak ketiga atau korban yang terimbas kasus ini. Ada banyak pihak ketiga yang kehilangan haknya gara-gara pemerintah sekadar mau menjalankan proses hukum, tapi tidak ada perlindungan terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum,” ujar Haris. (*)
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Asabri, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Draf RUU Tentang Perampasan Aset Saat Ini Disebut Beda Dengan Draf Zaman Jokowi

Hotman Klaim Kasus Nadiem Mirip Tom Lembong, Kejagung: Itu Kan Pendapat Pengacara

Apartemen Nadiem Makarim Digeledah, Kejagung Temukan Barang Bukti Penting

Kakak-Adik Bos Sritex Jadi Tersangka Kasus Pencucian Uang, Negara Rugi Rp 1 Triliun!

Presiden Nepal Yakinkan Semua Pihak, Tuntutan Pengunjuk Rasa Akan Dipenuhi

KPK Menggali Keterangan Khalid Basalamah Terkait Perolehan Kuota Haji Khusus

Kejagung Akui Kepala Desa yang Terlibat Kasus Korupsi Meroket Hingga 100 Persen

Eks Wamenaker Noel Tampil Berpeci Setelah 20 Hari Ditahan KPK, Alasannya Biar Keren

Tersangka Anggota DPR Satori Tidak Ditahan Setelah Diperiksa KPK 7 Jam Lebih

Skandal Kasus Korupsi Chromebook, Kejari Periksa 8 Sekolah dan 10 Pejabat
