ICW Sebut Hak Angket kepada KPK Bentuk Arogansi DPR


Diskusi Perempuan Antikorupsi di kantor ICW. (MP/Ponco Sulaksono)
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai rencana pengajuan hak angket oleh DPR karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bersedia membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani sebagai bentuk arogansi.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, pengajuan hak angket dan pemanggilan Novel Baswedan dalam kondisi sakit untuk memberikan keterangan soal Miryam adalah suatu proses yang ironi.
"Ini pelaksanaan hak, atau DPR ingin pertontonkan arogansinya dalam hak. Ini penyelamatan DPR karena nama-nama anggotanya disebutkan, atau hanya ingin menunjukkan arogansinya," ujar Almas di kantor ICW, Kalibata Timur, Minggu (23/4).
Menurutnya, pengajuan hak angket tidak tepat dan salah sasaran sehingga sudah seharusnya ditolak. Jika merujuk UU MD3, lanjutnya, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap masyarakat.
"Hak angket lebih tepat diajukan oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah, bukan institusi lain di luar pemerintah seperti KPK," tegasnya.
Almas meminta semua pihak mendukung pemberantasan korupsi yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh KPK. Tak hanya itu, ia juga meminta DPR untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
"Semestinya parpol dukung upaya pemberantasan korupsi dan menolak pelemahan KPK. Cukup hormati proses penegakkan hukum yang tengah berjalan. Gak hanya publik, tapi DPR dan parpol harus hargai proses hukum," tukasnya.
Sementara itu, anggota Divisi Hukum ICW Lalola Easter mengatakan, rencana pengajuan hak angket oleh DPR kepada KPK sebagai upaya menghalangi proses hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan hak angket.
"Seharusnya DPR memahami, pemeriksaan BAP Miryam menjadi rahasia dan bisa dibuka hanya dengan izin pengadilan. Apa yang dilakukan DPR ini blunder karena dia meng-exercise haknya dalam konteks politis bukan proses hukum," tegas Lola.
Ia menilai, rencana DPR tersebut dapat mengganggu kerja KPK untuk menuntaskan kasus megakorupsi e-KTP. Menurut Lola, ini sebagai bentuk intervensi dan pelemahan terhadap lembaga antirasuah tersebut.
"Ya kami khawatir upaya untuk meminta hak angket ini justru akan menganggu penyelesaian perkara yang ada di KPK. Seharusnya DPR mendukung bongkar kasus (e-KTP), tapi justru sebaliknya," pungkasnya. (Pon)
Berita terkait baca juga dalam artikel: Hak Angket E-KTP Upaya Menarik Persoalan Hukum Ke Politik
Bagikan
Berita Terkait
PBNU Desak KPK Segera Umumkan Tersangka Korupsi Kuota Haji Biar tidak Jadi Bola Liar

Draf RUU Tentang Perampasan Aset Saat Ini Disebut Beda Dengan Draf Zaman Jokowi

Legislator Sarankan Komisi Reformasi Polri Langsung Diketuai Presiden Prabowo

KPK Cecar Eks Sekjen Kemenag Proses Terbitnya SK Kuota Haji Tambahan Era Menag Yaqut

Polemik UU Perampasan Aset, Jokowi: Saya Sudah 3 Kali Ajukan ke DPR

Legislator Sebut Keadilan Restoratif Belum Sepenuhnya Capai Tujuan Pemidanaan Jika Hanya Sebatas Penghentian Kasus

KPK Menggali Keterangan Khalid Basalamah Terkait Perolehan Kuota Haji Khusus

Sekolah Rakyat Diharap Jadi Solusi Utama Pemerintah untuk Memutus Rantai Kemiskinan dan Mengurangi Angka Putus Sekolah

Pekerja Migran Perlu Regulasi dan Pembekalan Pengetahuan Sebelum Dikirim ke Luar Negeri

Fraksi Gerindra Bantah Rahayu Saraswati Mundur dari DPR untuk Jadi Menpora
