Hukum Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual Dianggap Kebijakan Populis


Ilustrasi - Kekerasan seksual pada anak. ANTARA/Insan Faizin Mubarak/aa)
MerahPutih.com - Hukuman kebiri kimia bagi para pelaku kejahatan seksual menuai kontroversi.
Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa hukuman kabiri kimia adalah aturan yang bersifat populis.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menuturkan, sampai saat ini, komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.
Baca Juga:
Komnas HAM Minta Hukuman Kebiri Dihapus, Begini Tanggapan Menteri Yohana
"Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana," kata Erasmus dalam keterangannya, Senin (4/1).
Menurut Erasmus, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU 17/2016. Efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.
Maka, jelas pelaksanaannnya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah.
Dalam PP ini, tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan.
"PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah," jelas Erasmus.

Selain itu, PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.
Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali.
"Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," kata Erasmus.
Dengan adanya PP 70/2020 ini, negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku.
Padahal, korban harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.
Ia menganggap, politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara.
Erasmus menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban.
Baca Juga:
Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan pemulihan dan perlindungan korban.
"Serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban," jelas Erasmus.
Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berbasis pemulihan korban mestinya mulai dicanangkan dan dibahas.
"Untuk pemerintah, cukupkanlah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekenisme perlindungan dan pemulihan korban," jelas Erasmus. (Knu)
Baca Juga:
LBP2AR: Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Pelecehan Anak Lebih Logis
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
Rektor Universitas Negeri Makassar Terseret Dugaan Pelecehan Seksual Ajak Dosen Cewek ke Hotel

Terancam Masuk ‘Daftar Hitam’ Jika Terlibat, Penumpang Kereta Api Diminta Tanda Tangan Petisi Tak Lakukan Aksi Pelecehan Seksual

Thomas Partey Bebas dari Tuduhan Pemerkosaan, Kok Bisa?

Jadi Tersangka Kasus Video Asusila, Raul Asencio Hadapi Hukuman 2,5 Tahun Penjara

Thomas Partey Didakwa 5 Kasus Pemerkosaan, Arsenal Malah Enggan Berkomentar

Pelaku Pelecehan Penumpang Anak Citilink Terancam 15 Tahun Bui, Kondisi Korban Masih Trauma

Naik Citilink Pegang-Pegang Paha Anak, Pria Lulusan Kedokteran Jadi Tersangka

Terlibat Pelecehan Seksual, Puluhan Orang Masuk 'Blackist' dan Dilarang Naik KRL

Kena Kasus Pelecehan Seksual, mantan Anggota NCT Taeil Divonis 3,5 Tahun Penjara

34 Kasus Pelecehan Seksual di Kereta dalam Setahun, Pria Dewasa dan Anak Juga Jadi Korban
