Kesehatan Mental

Gejala Depresi yang Jarang Dibicarakan

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Selasa, 21 November 2023
Gejala Depresi yang Jarang Dibicarakan

Depresi yang bercampur dengan rasa bersalah dapat meyakinkan untuk mengakhiri hidupnya. (Foto: Freepik/Freepik)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

SELAMA ini, penyebab depresi sering ditelusuri dari dua kelompok besar: internal dan eksternal. Internal antara lain kecemasan, genetika, dan perubahan hormon. Sedangkan faktor eksternalnya pengalaman traumatik, perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta hilangnya dukungan sistem sosial.

Namun, ada satu penyebab depresi yang jarang dibicarakan: rasa bersalah yang berlebihan. Rasa bersalah biasanya datang bersama rasa malu yang membuat individu menyembunyikannya.

Namun, rasa bersalah yang berlebihan merupakan gejala umum depresi dengan memburuknya gejala depresi yang berkorelasi dengan tingkat depresi yang lebih tinggi. Ghatavi dkk. dalam "Defining Guilt in Depression: a Comparison of Subjects with Major Depression, Chronic Medical Illness and Healthy Controls" menyatakan bahwa gejala ini dapat membahayakan.

Secara ringkas, rasa bersalah mungkin muncul sebagai respons atas kesadaran diri atau kepekaan ekstra. Pada tingkat paling akut, hal ini dapat membawa seseorang pada “delusi kehancuran”, suatu kondisi yang sering dikaitkan dengan pikiran untuk bunuh diri.

"Depresi yang bercampur dengan rasa bersalah dapat meyakinkan seseorang bahwa mereka layak mati, bahwa mereka telah menghancurkan hidupnya hingga tidak dapat kembali lagi, atau bahwa orang lain akan lebih baik tanpanya," ujar psikoterapis Jennifer Gerlach, LCSW dari Southern Illinois, AS, dalam psychologytoday.com.

Baca juga:

Cek nih, Tanda Kucing Depresi

Rasa bersalah adalah emosi prososial yang muncul ketika kita telah menyakiti seseorang. (Foto: Pexels/Liza Summer)
Rasa bersalah adalah emosi prososial yang muncul ketika kita telah menyakiti seseorang. (Foto: Pexels/Liza Summer)

Menurutnya, penting untuk mempertimbangkan apa yang dimaksud dengan rasa bersalah sebelum kamu mengatur strategi untuk mengatasinya.

Rasa bersalah adalah emosi prososial yang muncul ketika kita telah menyakiti satu sama lain atau melanggar pedoman moral kita.

"Namun depresi dapat mengubah emosi yang sehat ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Daripada refleksi positif, rasa bersalah depresi diasosiasikan dengan perenungan yang menyakitkan," sambung Gerlach yang mengkhususkan diri dalam psikosis, gangguan mood, dan kesehatan mental dewasa muda.

Rasa bersalah dapat terbentuk karena apa saja, termasuk banyak hal yang tidak melanggar pedoman moral kita. Ini dapat menyebabkan seseorang merasa bersalah. Padahal kemunculan rasa bersalah itu tidak beralasan.

"Depresi bahkan dapat membengkokkan persepsi kita sehingga kita merasa bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan," tulis Gerlach.

Seorang yang berjuang melawan depresi sering kali melaporkan bahwa ingatannya berisi semua kesalahan yang telah mereka buat. "Banyaknya kesuksesan dan momen penebusan dalam hidup seseorang dapat tersapu dan tidak diingat," ungkap Gerlach.

Gerlach mengingatkan bahwa meskipun rasa bersalah yang sehat mendorong kita menuju perubahan positif, rasa bersalah penyebab depresi sering kali mengakibatkan penarikan diri dan isolasi.

Rasa bersalah yang ekstrem mendorong seseorang menghukum dirinya sendiri seperti mengabaikan perawatan diri atau kebutuhan sehari-hari.

Baca juga:

'Brave Talk' Siap Jadi Teman Cerita ketika Depresi

Perlahan-lahan beralih ke rasa kasihan pada diri sendiri dalam dosis kecil dapat mengubah hidup. (Foto: Unsplash/Ashley Byrd)
Perlahan-lahan beralih ke rasa kasihan pada diri sendiri dalam dosis kecil dapat mengubah hidup. (Foto: Unsplash/Ashley Byrd)

Ada sejumlah strategi untuk mengatasi rasa bersalah yang berlebihan. Mengasihani diri sendiri adalah awal yang baik. "Perlahan-lahan beralih ke rasa kasihan pada diri sendiri dalam dosis kecil dapat mengubah hidup. Ini adalah pendekatan terapi yang fokus pada kasih sayang dan kasih sayang pada diri sendiri," saran Gerlach.

Ini juga dapat membantu seseorang menantang pikirannya sendiri. "Dalam terapi perilaku kognitif yang diarahkan, penemuan diri sendiri dapat memberikan ruang di mana seseorang dapat mengeksplorasi keluhan yang mereka rasakan bersama terapis," ujarnya.

Terapis kemudian dapat membantu pasien menghalau pandangan buruk pasien tentang dirinya sendiri.

Terakhir, terapi komitmen penerimaan. Melalui terapi ini, seseorang diarahkan untuk mengklarifikasi pandangannya yang menuduhnya melanggar kode moral.

"Terapi komitmen penerimaan juga dapat mengubah cara seseorang berhubungan dengan pemikiran ruminatifnya dan memberikan alat untuk melepaskan diri dari siklus tersebut," kata Jennifer Gerlach. (aru)

Baca juga:

Kurangi Depresi dengan Sengenggam Kacang

#Kesehatan Mental #Depresi
Bagikan
Ditulis Oleh

Hendaru Tri Hanggoro

Berkarier sebagai jurnalis sejak 2010 dan bertungkus-lumus dengan tema budaya populer, sejarah Indonesia, serta gaya hidup. Menekuni jurnalisme naratif, in-depth, dan feature. Menjadi narasumber di beberapa seminar kesejarahan dan pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan lembaga pemerintah dan swasta.

Berita Terkait

Fun
Self-Care Menjadi Ruang Ekspresi dan Refleksi bagi Perempuan, Penting untuk Jaga Kesehatan Mental
Merawat diri tidak lagi sekadar urusan penampilan fisik, tetapi juga menjadi sarana penting untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan emosional.
Dwi Astarini - Senin, 13 Oktober 2025
Self-Care Menjadi Ruang Ekspresi dan Refleksi bagi Perempuan, Penting untuk Jaga Kesehatan Mental
Lifestyle
The Everyday Escape, 15 Menit Bergerak untuk Tingkatkan Suasana Hati
Hanya dengan 15 menit 9 detik gerakan sederhana setiap hari, partisipan mengalami peningkatan suasana hati 21 persen lebih tinggi jika dibandingkan ikut wellness retreat.
Dwi Astarini - Senin, 13 Oktober 2025
The Everyday Escape, 15 Menit Bergerak untuk Tingkatkan Suasana Hati
Indonesia
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Posyandu Ramah Kesehatan Jiwa diperkuat untuk mewujudkan generasi yang sehat fisik dan mental.
Dwi Astarini - Senin, 06 Oktober 2025
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Fun
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Pelarian Artscape hadir sebagai pelampiasan yang sehat dan penuh makna.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 04 Agustus 2025
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Indonesia
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Kelelahan mental merupakan sindrom yang dihasilkan dari stres terkait dengan pekerjaan kronis.
Dwi Astarini - Rabu, 30 Juli 2025
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Lifestyle
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Gangguan perasaan bisa berupa emosi yang tumpul atau suasana hati yang kacau
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 26 Juli 2025
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Indonesia
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Hasil ini menjadi sinyal penting perlunya konsultasi lebih lanjut dengan tenaga profesional.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 21 Juli 2025
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Indonesia
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Depresi yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan depresi yang resistan terhadap pengobatan atau treatment resistant depression atau (TRD).
Alwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juli 2025
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Lifestyle
Kalau Kamu Rasakan 3 Hal Ini Lebih dari 2 Pekan, Dokter Bilang Itu Depresi Lho!
Apabila depresi tidak ditangani dengan baik, dr. Adhi memperingatkan bahwa hal tersebut dapat berujung pada depresi resisten pengobatan
Angga Yudha Pratama - Jumat, 11 Juli 2025
Kalau Kamu Rasakan 3 Hal Ini Lebih dari 2 Pekan, Dokter Bilang Itu Depresi Lho!
Bagikan