Yusril Ihza Mahendra Tanggapi Surat Edaran Hate Speech
Rabu, 04 November 2015 -
MerahPutih Peristiwa - Pendapat dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra kiranya dapat menjadi wacana baru yang lebih konstruktif di tengah silang sengketa dan keresahan yang terjadi di masyarakat terkait Surat Edaran (SE) Kapolri Jendral (Pol) Badrodin Haiti yang mengatur tentang ujaran kebencian atau hate speech.
Seperti diketahui, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). SE yang dikeluarkan pada 8 Oktober lalu ini menuai banyak pro dan kontra. Salah satunya, SE tersebut dinilai bisa memasung kebebasan berpendapat, bahkan rentan disalahgunakan pihak-pihak tertentu untuk membungkam suara rakyat.
Yusril berpendapat, SE Kapolri itu merupakan penegasan dan pengejawantahan dari KUHP dan KUHAP yang dijadikan kiblat hukum oleh Indonesia. Dan, karena namanya adalah surat edaran, maka hal tersebut berlaku untuk internal organisasi Polri saja, seperti yang paparkan oleh Yusril Ihza Mahendra saat dikonfirmasi merahputih.com di Jakarta, Selasa (3/11).
"Surat Edaran Kapolri itu sifatnya internal di tubuh kepolisian, bukan untuk membuat norma peraturan yang baru dalam perundang-undangan. Pasal-pasal yang mengatur soal kebencian terhadap unsur agama, suku, ras atau agama, itu sendiri sebenarnya secara tegas sudah diatur dalam KUHP atau pun di luar peraturan perundang-undangan," ujar Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Lantaran sifatnya internal, sehingga seluruh anggota kepolisian yang ada di Indonesia, sebagai penegak hukum wajib menjalankan surat edaran tersebut jika dalam tugas di lapangan, polisi melihat, mendengar langsung atau mendapat aduan dari masyarakat yang berkaitan dengan penyebaran kebencian melalui pamflet, kampanye, pidato atau di media sosial, dapat langsung mengambil tindakan hukum sesuai dengan kewenangannya.
"Jadi surat edaran itu dibuat dan diedarkan dari, untuk dan bagi seluruh anggota Polri di Indonesia, agar dapat menegakkan undang-undang, tentu mengacu kepada ketentuan hukum yang ada dalam KUHP atau KUHAP, dari situ Polri kemudian dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan, tapi kalau urusan kewenangan menjatuhkan hukuman, tentu harus ada proses di pengadilan di mana hal itu bukan lagi menjadi kewenangan dari Polri, tapi sudah menjadi wewenang hakim untuk menilai, menimbang dan menjatuhkan vonis," pungkasnya. (aka)
Baca Juga: