Tradisi Ulaon Matumona, Sebuah Doa Keselamatan Masyarakat Batak

Senin, 31 Desember 2018 - Zaimul Haq Elfan Habib

CUACA dingin hujan lebat yang rutin terjadi di kawasan Bandara Internasional Silangit di Siborongborong, Tapanuli Utara, Sumatera Selatan akhir-akhir ini sekejap berubah menjadi cerah. Terik matahari mulai menyinari kawasan Pelabuhan Muara di tepi Danau Toba.

Di bawahnya, tampak ribuan orang berkumpul. Mereka terlihat rapi dalam barisan dengan selendang dan ikat kepala dari kain ulos. Ternyata orang-orang tersebut sedang mengadakan Pawai Budaya 1000 Ulos yang merupakan puncak dari rangkaian upacara adat Ulaon Matumona.

Di sela-sela keramaian, tampak seorang pria tua yang terlihat agak vokal. Ia sering dipanggil Opung Jafaris. Pada acara Ulaon Matumona kali ini, Jafaris boleh dibilang menjadi salah seorang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan cuaca nan kontras tersebut. Sebab ia bertindak sebagai dukun penjaga alam dalam rangkaian acara Ulaon Matumona tersebut.

Opung Jafaris pula lah yang mendampingi rombongan peserta Ulaon Matumona yang terdiri dari berbagai horja bius yang menetap di Kecamatan Muara bergerak dari Gereja HKBP Untemungkur menuju Lapangan SD Inpres Muara, tempat acara puncak Ulaon Matumona dilangsungkan.

1. Makna Upacara Adat Ulaon Matumona

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Ulaon Matumona secara harafiah berarti kegiatan untuk berkumpul untuk memetik hasil produksi dan mengkonsumsinya secara bersama-sama dalam satu kecamatan, jelas Opung Jafaris.

"Kayak padi itu masih disabit, lalu padi tadi itu mau digiling, kita mau makan, patumona. Matumona itu mengambil, patumona itu memakan," jelasnya seperti dilansir Antara.

Sebagai seorang yang bertanggung jawab untuk memantapkan rangkaian acara supaya berkesesuaian dengan berbagai aturan adat dan tradisi masyarakat Batak, ia mengandalkan betul ingatannya pada upacara serupa yang ia saksikan saat ia masih remaja berusia 12 tahun.

Mengingat Opung Jafaris saat ini sudah menginjak usia 80 tahun, maka terakhir kali ia menyaksikan upacara Ulaon Matumona di Muara terjadi pada medio tahun 1950-an.

2. Upacara Langka yang Jarang Digelar

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Soal kapan terakhir kali Ulaon Matumona digelar di Muara memang cukup simpang siur, setidaknya ada dua pendapat lain yang mengutarakan keterangan berbeda.

Tumpak Winmark Hutabarat misalnya, pria yang menjabat sebagai Direktur Pesta Budaya Rakyat dalam kepanitiaan Festival Tenun Nusantara 2018 menyebutkan bahwa terakhir kali Ulaon Matumona digelar pada tahun 1986 silam.

Sedangkan Jusman Sianturi, salah seorang tetua adat di Kecamatan Muara menyebut upacara sejenis pernah digelar di wilayahnya pada 2013 lalu.

Terlepas dari mana yang benar, berlangsungnya Ulaon Matumona di Muara pada 15-17 Oktober lalu menjadi tonggak pelestarian budaya tanah Batak di kalangan remaja dan generasi penerus agar nantinya tak hanya berakhir menjadi arsip.

3. Tahap-Taham dalam Ulaon Matumona

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Martonggo Raja Meski tak satu suara soal kapan terakhir kali Ulaon Matumona digelar, Opung Jafaris, Tumpak Hutabarat dan Jusman Sianturi menyepakati bahwa gelaran tersebut harus berlangsung dalam tiga tahapan yang dibagi dalam tiga hari.

Di hari pertama, raja-raja bius, ketua adat dan ketua masyarakat yang bisa diwakili kepala desa berkumpul dalam musyawarah yang bernama Martonggo Raja. Dalam Martonggo Raja ditentukan jambar atau pembagian berbagai peran yang diemban tiap-tiap orang yang terlibat dalam Ulaon Matumona, termasuk penentuan porsi dari kerbau yang nantinya akan dipersembahkan pada acara puncak.

Pada hari kedua, tim ritual yang sudah ditunjuk pada Martonggo Raja akan menentukan kayu pohon yang akan dipakai dalam Paojakkon Borotan, menjemput dan mengaraknya sejauh dua kilometer menuju lokasi prosesi acara.

Secara harafiah Paojakkon Borotan adalah prosesi untuk menanamkan batang pohon yang akan dijadikan tempat mengikat tali kerbau yang bakal dipersembahkan.

Lantas pada hari ketiga, prosesi puncak Ulaon Matumona akan ditandai dengan Mangalahat Horbo atau menombak kerbau persembahan yang nantinya sebagian dagingnya bakal dibagikan sesuai dengan jambar masing-masing peserta upacara.

4. Penyenggelaraan yang Disambut Baik Masyarakat

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Eratnya prosesi upacara sejenis Ulaon Matumona dengan kepercayaan lokal Batak diakui Tumpak menjadi salah satu tantangan tersendiri untuk menggelar kembali kegiatan yang menjadi bukti kekayaan tradisi Nusantara itu.

"Ini yang harus dimoderasi, karena proses kebudayaan berbeda dengan proses agama. Prosesi kebudayaan adalah bagian dari tradisi masyarakat itu sendiri, yang berdinamika sendiri," ujar Tumpak.

Pun demikian, Tumpak bersyukur masyarakat Muara cukup antusias menyambut kehadiran Ulaon Matumon yang menjadi bagian dari Festival Tenun Nusantara, yang tidak terlepas dari lekatnya kehidupan warga setempat dengan ulos.

"Tidak ada penolakan di sini. Denyut nadi masyarakat sini dari ulos, hidup dari menenun. Di luar aspek ekonomi, keseharian tradisi mereka juga selalu bersentuhan dengan ulos, mulai dari pernikahan, kelahiran, pesta adat, kematian jadi tidak ada penolakan di sini," tegasnya.

5. Upacara Meminta Berkah

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Jusman Sianturi mengamini pernyataan Tumpak, menyebut Ulaon Matumona sebagai kegiatan budaya yang biasa dikerjakan oleh nenek moyang warga Muara, meski pada masa lampau hal itu memang erat dengan prosesi meminta berkah dan kemudahan dari Mulajadi Nabolon, demikian masyarakat Batak menyebut Dewa tertinggi dalam sistem kepercayaan mereka.

"Dulu kegiatan itu dilaksanakan oleh leluhur kami untuk meminta restu dari Mulajadi Nabolon untuk berkat dan keselamatan bagi masyarakat Muara, agar pekerjaan kami bisa menghadirkan kemakmuran dan kesejateraan," kata Jusman.

Rumitnya prasyarat Sebagai sebuah prosesi adat, berbagai prasyarat tentu telah digariskan agar nilai kesakralan dan kebersesuaian Ulaon Matumona tercapai. Dalam hal ini, Opung Jafaris menjadi salah satu sosok yang berperan untuk menyelami kembali ingatannya yang menurutnya seusia 68 tahun silam.

6. Sugugan dalam Upacara Adat Ulaon Matumona

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Menurut Opung Jafaris terdapat 21 jenis suguhan yang nantinya akan dikonsumsi atau di-patumona bersama-sama oleh peserta Ulaon Matumona, di antaranya kambing putih, ayam putih, ayam merah merah, ayam hitam putih, dekenehura (ikan mas), ita putih, ita gurgur dan hino pingan.

Untuk batang pohon yang bakal dipakai sebagai Borotan pun tentu ada kriterianya.

"Harus tumbuh sendirian dalam radius 20 meter, yang artinya kalau dia nanti tumbang tidak merusak kayu yang lain," kata Opung Jafaris.

"Ukurannya harus sebesar orang gemuk, dengan panjang tiga meter. Satu meter ditanam, satu meter lepas, dan satu meter di atasnya dipasangi jagar zagar (semacam sesajen yang disematkan ke bagian atas batang Borotan). Satu meter yang lepas itu nanti buat tempat ikat kerbau," ujarnya menambahkan.

Untuk kerbau yang nantinya bakal dikorbankan juga tak kalah rumit syaratnya yakni harus memiliki dua belang di leher, empat pusaran yang di bagian depannya harus sejajar tembus antara sisi kanan dan kiri dengan usia sudah mencapai enam tahun.

Kemudian tanduk si kerbau harus berdiri tegak dan tidak boleh terdapat pusaran di kepala maupun di dekat ekor.

"Ekornya harus makorus, bukan madungdung. Artinya harus menjuntai hingga ke bawah lutut kerbau. Kalau madungdung itu berarti kerbaunya masih marsai, kurang sempurna," katanya.

7. Tradisi yang Melibatkan Semua Masyarakat

Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)
Salah satu prosesi dalam upacara adat Uloan Matumona. (Screenshoot YouTube)

Prasmanan swadaya Kendati dihadirkan sebagai sebuah kegiatan budaya yang dilakukan dalam rangkaian Festival Tenun Nusantara 2018, Ulaon Matumona di Muara tak meninggalkan aspek paling penting yang menjiwainya yakni sarana bersyukur dan meminta keselamatan serta kesejahteraan bersama-sama.

Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat Muara terlibat di dalamnya, bersumbangsih dengan apa saja yang bisa mereka berikan demi terlaksananya Ulaon Matumona.

Tumpak Hutabarat mengaku hal itu serupa dengan apa yang dilakukan pada masa lampau, bahwa prosesi Ulaon Matumona berlangsung ditanggung biaya swadara masyarakat.

"Jadi karena mereka konsepnya per marga, ada yang menyumbangkan uang, ada yang menyumbangkan beras. Setahun sekali semua orang bersyukur, karena kadar bersyukur tidak cuma ditakar dari kesehatan semata, tapi bisa juga keamanan maupun hasil panen yang melimpah," kata Tumpak.

Kehadiran masyarakat Muara juga dipastikan oleh Upung Jafaris dalam Ulaon Matumona kali ini.

"Kehadiran masyarakat Muara itu ada masing-masing. Yang punya uang menyumbangkan agar pesta ini jadi, yang lainnya bisa berkontribusi secara otak, doa, semua harus terlibat, karena ini untuk kita semua," tegas Opung Jafaris.

Muara hari-hari ini mengamalkan kembali peribahasa Batak, arga do bona ni pinasa yang artinya tanah leluhur bernilai tinggi, dan apa lagi yang bisa dilakukan untuk menjaga nilai tanah leluhur selain melestarikan tradisi yang dimiliki? (zul)

Baca Juga: Mengenalkan Kembali Pewarna Alami Benang Tenun Bagi Kamu Penggemar Tren Eco-Fashion!

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan