Mengenalkan Kembali Pewarna Alami Benang Tenun Bagi Kamu Penggemar Tren Eco-Fashion!


Kain ulos. (Foto/simarmata.or.id)
TUMBUHAN indigo di tanah Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, menyimpan kisah unik terkait lika-liku dunia wastra. Indigo kerap diekstraksi menjadi pewarna biru, dan sering digunakan orang Muara masa lalu untuk mewarnai benang tenun.
Kini, tradisi itu tak lagi berlangsung. Orang-orang Muara, termasuk Dameria Sianturi, sudah tak menggunakan indigo sebagai pewarna benang tenun. Sejak berumur 13 tahun, Dameria telah menekuni tenun sebagaimana banyak dilakukan perempuan Muara.
Meski telah berumur 68 tahun, tangan Dameria masih cekatan memilin dan mengikat benang untuk membuat ulos. Tradisi menenun tetap dilakoni, namun sudah tak lagi mengekstrasi tumbuhan Indigo untuk pewarna benang tenun.

Di Muara, ulos kebanyakan berwarna biru tua, hitam, dan abu-abu karena warna-warna itu paling mudah dibuat dengan menggunakan bahan-bahan di lingkungan sekitar.
Tak seperti tenun kecamatan tetangganya, Tarutung, tenun Muara dibuat dengan mengikat benang dan kemudian mencelupkannya ke pewarna, serupa dengan teknik tenun masyarakat Sumba.
"Kalau di Tarutung mereka membeli benang berwarna kemudian ditenun, kalau di Muara kami mengerjakannya dari mewarnai benang," katanya seperti dilansir Antara.
Dameria menceritakaan romantisme dirinya di masa muda bersama para perempuan Muara lainnya mengekstrasi indigo untuk dijadikan pewarna benang. "Dulu sekali itu, saya pakai daun Salo untuk membuat warna hitam, tetapi sekarang kami tidak pakai lagi," katanya.

Romatisme Dameria lantas gugur ketika unsur kepraktisan dan tuntutan ekonomi merangsek. Tradisi itu sirna.
Memang bukan perkara mudan mewarnai benang tenun. Dameria mengaku butuh proses berbulan-bulan menggunakan pewarna alami, sedangkan pewarna sintetis hanya dalam tempo seminggu saja.
"Kalau pakai pewarna alami itu lama, dicelup kemudian dijemur, terus dicelup lagi, berulang-ulang hingga warnanya keluar. Tetapi kalau pakai pewarna sintetis satu jam saja dicelup udah keluar warna birunya," kata ibu dari tujuh anak tersebut.
Meski pewarna sintetis unggul dalam waktu, Dameria mengakui pewarna alami memberikan kualitas jauh lebih baik dibandingkan pewarna sintetis.
Kain menggunakan pewarna alami akan lebih awet, warnanya tidak mudah luntur, namun harganya akan lebih mahal.
Tuntutan ekonomi memaksanya menghasilkan banyak ulos dalam tempo singkat untuk di jual ke pengepul.
Selain menenun, Dameria juga bertani. Dia menanam padi, jagung, dan lainnya. Namun cuaca tak menentu membuat penghasilan dari bertani juga tak tentu, sehingga Dameria mengandalkan tenun sebagai sumber pendapatan utama.
"Kalau sekarang ini, memang pendapatan lebih banyak dari menjual ulos dibandingkan dari bertani," katanya.
Dameria dapat menghasilkan empat sarung dan empat selendang tenun dalam sebulan dan menjualnya ke pengepul dengan harga Rp 1,5 juta.
Meski tidak lagi menggunakan pewarnaan alami, teknik pembuatan dan motif tenun Muara belum banyak bergeser dari tenun tradisionalnya. Menurut Dameria, ulos asal Muara masih memiliki nilai ritus, tidak seperti ulos masa kini.
"Di sini orang bikin ulos biasanya ada tujuannya, misalnya membuat ulos Bintang Maratur, dibuat seorang nenek untuk cucunya supaya sehat selalu dan dipermudah segalanya," kata dia.
Tren Eko-fesyen

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya hidup selaras dengan alam, produk-produk dengan bahan natural semakin banyak menjadi pilihan konsumen.
Dalam produk fesyen pun konsumen tak hanya menuntut penggunaan bahan organik dan dapat didaurulang. Mereka juga ingin produk pembeliannya memiliki dampak langsung kepada masyarakat pembuatnya dan lingkungan sekitar mereka.
Kondisi itu membuat produk dengan pewarna alami ramah lingkungan makin banyak menjadi pilihan kosumen masa kini.
Ketua Wastra Indonesia Bhimanto Suwastoyo berpendapat tenun bisa memasuki pasar global lewat penggunaan pewarna alami.
"Saat ini orang-orang sedang kembali ke alam, di Eropa banyak desainer kembali menggunakan pewarna alam. Tenun harusnya juga kembali menggunakan pewarna alam," katanya. Kain ulos, lanjutnya, saat ini banyak menggunakan pewarna industri karena lebih mudah dan cepat didapat.
Pada acara Festival Tenun Nusantara yang berlangsung pada 13-14 Oktober 2018, Wastra Indonesia sempat mengajarkan kembali cara mewarnai menggunakan pewarna alami kepada para penenun Tapanuli Utara.
"Sebenarnya mereka masih mau menggunakan pewarna alami, bahan-bahannya pun banyak, tetapi mereka sudah lupa caranya bagaimana mewarnai dengan pewarna alami," katanya.
Menurutnya alasan sebagian masyarakat Batak sekarang enggan menggunakan pewarna alami salah satunya tuntutan ekonomi, yang juga melemahkan hubungan mereka dengan tenun yang mereka buat.
"Orang dulu membuat kain tenun disertai nilai dan doa, oleh sebab itu mereka membuat tenun dengan sepenuh hati dan tidak mau sembarangan. Maka kalau kita lihat kualitas tenun jaman dulu sangat baik sekali," kata Bhimanto.
Alasan ekonomi yang membuat orang-orang meninggalkan pewarna alami sebenarnya kini bisa menjadi jalan untuk mengembalikan para penenun ke teknik pewarnaan tradisional, kalau konsumen bersedia membeli tenun berpewarna alami dengan harga sesuai dengan jerih payah pembuatannya. (*)
Baca Juga: Kain Ulos Terpanjang Meriahkan Festival Danau Toba 2015
Bagikan
Berita Terkait
NES by HDK Angkat Tenun Lagosi dan Pemberdayaan Sosial di JF3 2025

Warna-Warni Indah Motif Kain Ulos Khas Sumatra Utara

Tip Menjaga Kondisi Kain Tenun Katun Tetap Awet dan Bagus Warnanya

Menjaga Tradisi dan Alam Kalimantan lewat Tenun

Upaya Lestarikan Tenun Ikat Warna Alam

Kain Lurik, Kain Motif Garis Khas Yogyakarta

Kain Tenun Goyor Ciri Khas Suku Tengger

Wastra Nusantara Sarat Pesona Kekayaan Motif dan Makna

Menanti Kain Tenun Donggala Masuk Kurikulum SMK

Membangkitkan Kembali Kain Tenun Tidore
