Rachmita Harahap, Kartini 'Zaman Now' Pendobrak Diskriminasi Tunarungu
Sabtu, 21 April 2018 -
BAYANGKAN ketika Anda masih duduk di bangku sekolah. Saat guru menerangkan, rasa kantuk tiba-tiba melanda. Pasti Anda sudah tidak dapat konsentrasi lagi pada ucapannya. Apa yang guru ucapkan, mungkin tidak terdengar lagi oleh Anda.
Pada akhirnya, Anda pun tidak berhasil menangkap pesan yang disampaikan guru. Nah, di sini lah hebatnya Rachmita Maun Harahap. Menjadi tuna rungu, tidak mengurangi konsentrasinya. Ia bahkan mampu melanjutkan kuliah hingga jenjang S3.
Seumpama Kartini, Rachmita sadar betapa pentingnya pendidikan. Bicara tentang Kartini, dosen arsitektur-interior Universitas Mercu Buana ini mengagumi sosok pejuang emansipasi wanita itu. Baginya sosok Raden Adjeng Kartini itu begitu luar biasa.
Kartini merupakan perempuan pemberani yang memperjuangkan emansipasi wanita demi perubahan pola pikir, tradisi, perspektif hidup, keluarga, pendidikan serta pekerjaan. Di mata perempuan yang akrab disapa Mitha itu, Kartini bukan hanya pahlawan bagi haum hawa. “Dia bukan hanya seorang pahlawan bagi kaum hawa, tetapi perubahan yang memikirkan kemajuan kaum dan bangsanya,” terang Mitra melalui e-mail yang ia kirim kepada Merahputih.com.

Sosok Kartini telah menginspirasi banyak perempuan Indonesia. Ia pun mengaku hingga saat ini begitu memegang teguh semangat perubahan yang diperjuangkan Kartini. Tunarungu bukan halangan bagi Mitha untuk meraih sukses.
Lahir sebagai tunarungu tak menghambat langkahnya untuk sukses. Kecerdasannya pun telah terbukti. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Arsitektur Universitas Mercu Buana, ia melanjutkan S2 jurusan Arsitektur Interior di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Fokusnya pada dunia pendidikan tidak berhenti sampai di sini. Mitha melanjutkan pendidikan dengan mengambil program doktoer di fakultas Seni Rupa ITB. Bidang arsitektur menjadi pilihannya sejak awal.
Mitha kecil hobi menggambar. Sederet piala pernah ia sabet saat mengikuti lomba gambar dan lukis. Hobi ini lah yang ternyata terbawa hingga dewasa dan turut menentukan jalan hidupnya.
Mengaku sebelumnya tidak tahu apa itu arsitektur, tetapi bidang ini berhasil membuatnya jatuh cinta. Ketika mendaftar di Universitas Mercu Buana, yang ada hanya lah rasa ingin tahu mengenai dunia ini. Setelah masuk, ia langsung jatuh cinta dan bertekad menjadi arsitek setelah lulus kuliah.
Perjalanan menjadi doktor
Sejak kecil memakai alat bantu dengar, Rachmita dahulu memilih menimba ilmu di sekolah umum ketimbang sekolah luar biasa (SLB). Buat dia, belajar di SLB tidak ada tantangan. Ia bercerita pernah sekolah di SLB kelas lima, tetapi pelajaran yang ia terima sama dengan kelas tiga sekolah dasar (SD).
Sejak kelas lima SD hingga SMA, ia mengambil sekolah umum. Berprestasi sejak SD, tidak heran kalau Mitha bisa mendapat beasiswa dari Universitas Mercu Buana untuk melanjutkan studi di program S2 serta mendapat ikatan dinas sebagai dosen.
Mitha adalah koordinator laboratorium desain interior. Bosan dengan ilmunya yang ia rasa “itu-itu” saja, dia melanjutkan program doktor di fakultas seni rupa dan desain ITB. Walaupun tunarungu, perempuan yang satu ini memiliki kepekaan visual yang amat baik. Ia dapat menangkap semua informasi secara visual menggunakan mata.
Tantangan karier
Selain pendengaran, Mitha juga mengalami gangguan berkomunikasi. Ia sulit berbicara cepat dengan lancar. Namun hal ini tidak mengganggu profesinya sebagai dosen. Ketika mengajar, ia selalu meminta mahasiswa bertanya secara lisan atau tertulis apabila ada ucapannya yang tidak mereka mengerti.
Sejauh ini, aktivitas mengajarnya tidak terkendala oleh masalah gangguan bicara yang ia miliki. Untuk menunjang profesinya sebagai dosen, Mitha terus belajar agar tidak ketinggalan dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang arsitektur dan desain interior.
Bisa mencapai posisi sekarang bukan berarti dia tidak pernah mengalami diskriminasi. Salah satunya terkait dengan statusnya sebagai karyawan. Sebelum diangkat menjadi pegawai tetap seperti sekarang, ia dikontrak selama lima tahun.

Gaya mengajar
Setiap dosen punya gaya mengajar. Dosen mata kuliah Seminar Penelitian ini mengajar layaknya dosen biasa. Menggunakan gambar, film dan diagram sebagai alat bantu mengajar serta mengajak mahasiswa melakukan eksplorasi dan observasi di lapangan.
Kesungguhan hatinya dalam menjalani hidup telah menyemangatinya untuk menimba ilmu setinggi-tingginya dan membaginya kepada anak didik.
Harapan
Sebagai perempuan dengan tunarungu, Rachmita berharap perempuan Indonesia yang dapat mendengar dengan baik serta para perempuan disabilitas tidak hanya melihat fisik. Tetapi lihat lah kemampuannya. Mereka sama-sama kuat, tegas, berjiwa besar, cerdas, mandiri dan inspiratif.
Harapan lainnya ialah mendirikan universitas khusus tunarungu. Latar belakangnya ialah banyaknya anak-anak tunarungu yang sulit diterima di perguruan tinggi Tanah Air. Untuk menggapai impiannya, Mitha telah memiliki konsep. Namun masih terkendala pada lahan. Ia berencana mengalihkannya ke daerah terpencil di kampung almarhum sang ayah setelah ia menyandang gelar doktor.
Rachmita bukan lah satu-satunya perempuan dengan disabilitas yang pernah mendapat diskriminasi dari lingkungannya. Akan tetapi, ia mampu mengatasinya dengan baik. Dia adalah salah satu Kartini masa kini. (Ryn)
Dapatkan berita lain mengenai perempuan dan Kartini di sini.