Pengamat Nilai Kegaduhan UU Cipta Kerja Terjadi Karena Minim Sosialisasi dan Komunikasi

Rabu, 07 Oktober 2020 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Kegaduhan baik di media sosial ataupun lapangan terjadi tatkala UU Cipta Kerja (Omnibus law) disahkan. Bahkan, baik Pemerintah maupun DPR jadi sasaran bully karena dinilai tak peduli nasib pekerja ditengah pandemi COVID-19.

Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai jika pembahasan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang terkesan terburu-buru dan kurang komunikasi dengan publik.

“Sehingga masyarakat terutama buruh tidak memahami ada perubahan-perubahan di dalam penyusunan itu sampai menjadi undang-undang,” kata Trubus kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/10).

Baca Juga

Ratusan Ribu Orang Tandatangani Petisi Tolak UU Cipta Kerja

Sosialisasi dan edukasi adalah hal yang penting dilakukan. Mengingat banyak buruh yang melakukan demonstrasi.

Secara substansi, tak semua isi dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law merugikan buruh, namun ia menyoroti soal poin Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menjadi seumur hidup.

“Karena tidak ada batas waktunya, sehingga ini tentu merugikan para pekerja. Tetapi ini kan undang-undang ini meskipun sudah disahkan masih ada terbuka bagi publik atau para buruh untuk melakukan judicial review ke MK,” ujarnya.

Pengesahan UU Cipta Kerja ini menimbulkan penolakan dari buruh di berbagai daerah. Trubus menilai jika semestinya seluruh isi UU NO.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku selama ini semestinya tetap diadopsi agar tidak menimbulkan kesan intervensi yang dilakukan pemerintah.

Ratusan buruh melakukan unjuk rasa dengan memblokade jalan utama Kota Tangerang sebagai wujud penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin, (5/10/2020). Pihak Kepolisian melakukan menyekatan di sejumlah titik pada massa buruh dari Tangerang menuju Gedung DPR RI di Jakarta. Sejumlah buruh memang mengagendakan akan menggelar aksi unjuk rasa di depan DPR selama beberapa hari ke depan, hingga 8 Oktober 2020. Merahputih.com / Rizki Fitrianto
Ratusan buruh melakukan unjuk rasa dengan memblokade jalan utama Kota Tangerang sebagai wujud penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin, (5/10/2020). Pihak Kepolisian melakukan menyekatan di sejumlah titik pada massa buruh dari Tangerang menuju Gedung DPR RI di Jakarta. Sejumlah buruh memang mengagendakan akan menggelar aksi unjuk rasa di depan DPR selama beberapa hari ke depan, hingga 8 Oktober 2020. Merahputih.com / Rizki Fitrianto

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyesalkan sikap para politisi di DPR yang menyetujui disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Menurut dia, pengesahan RUU itu menjadi UU menunjukkan bahwa para politikus di Senayan lebih mendengarkan aspirasi segelintir orang dibandingkan masyarakat banyak yang memilih mereka.

Ia menilai, para wakil rakyat di DPR kini banyak yang tersandera. Sehingga, mereka cenderung tidak berani menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas, yang sering berseberangan dengan kepentingan pimpinan partai politik.

Baca Juga

UU Cipta Kerja Diklaim Bisa Dorong Terciptanya Era Penyiaran Digital

Hal itu diakibatkan karena kekhawatiran mereka atas pergantian antar waktu (PAW) yang mungkin dilakukan oleh pimpinan partai politik bila mereka menunjukkan sikap berbeda.

"Sehingga akhirnya para angota DPR tersebut lebih mendengarkan keinginan pimpinan partainya daripada mendengarkan keinginan rakyatnya," ucapnya.

Ia menambahkan, pembahasan RUU Cipta Kerja yang berjalan cepat, sarat dengan kepentingan. Untuk diketahui, pemerintah dan DPR hanya butuh waktu tujuh bulan untuk menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan