Pansel KPK Harusnya tak Prioritaskan Calon dari Polri dan Kejaksaan
Minggu, 01 September 2019 -
MerahPutih.com - Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, jika pansel ingin mensinergikan tiga lembaga yakni polisi, KPK, dan kejaksaan untuk pemberantasan korupsi, seharusnya mereka tidak memprioritaskan para capim yang berasal dari kedua instansi tersebut.
Menurut Ray, jauh lebih baik polisi dan jaksa dioptimalkan untuk pemberantasan di institusinya masing-masing.
Baca Juga
"Untuk membangun korps kepolisian dalam konteks pemberantasan korupsi," kata Ray kepada wartawan di kawasan Jakarta Timur, Minggu (1/9).
Saat ini, terdapat empat orang capim KPK yang berasal dari Polri dan tiga orang dari kejaksaan. Mereka adalah Irjen Pol Antam Novambar, Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto, Firli Bahuri, dan Brigjen Sri Handayani dari kepolisian. Sementara dari kejaksaan adalah Sugeng Purnomo, Johanis Tanak, dan Jasman Panjaitan.
Menurut Ray, sangat disayangkan jika nama-nama itu meninggalkan institusi mereka.
"Artinya orang-orang ini punya kegeraman terhadap korupsi sehingga mereka ingin masuk ke KPK. Memiliki perspektif soal korupsi, tidak bisa bersahabat dengan korupsi. Kalau mereka masuk ke institusi KPK, di polisinya siapa lagi yang punya sense seperti mereka untuk berantas korupsi?" kata dia
Menurutnya, orang-orang penegak hukum yang memiliki perhatian terhadap korupsi harus diwadahi di institusinya masing-masing untuk menjadi tim pemberantasan korupsi.
Baca Juga
Peneliti Senior: Jokowi Bisa Terancam Jika Pansel Salah Pilih Capim KPK
Dengan demikian, ketiga institusi, yakni polisi, kejaksaan, dan KPK bisa belerja sinergis untuk memberantas korupsi.
"Bukan dengan melempar mereka ke KPK. Presiden sebagai pemegang kuasa terhadap tiga institusi ini tinggal memerintahkan bentuk tim divisi khusus anti korupsi," terang dia.
Sebab, berbondong-bondongnya para polisi dan jaksa aktif di bursa capim KPK ini juga menjadi kritik terhadap institusi masing-masing karena mereka tak optimal dalam pemberantasan korupsi.
"Jadi gairahnya (berantas korupsi) tinggi tapi institusi tidak mendukung. Ujung-ujungnya cari institusi lain, KPK. Kejaksaan dan polisi harusnya lihat ini jadi kritik terhadap mereka," kata Ray.
"Jangan dianggap prestasi. Ini sindiran kuat bahwa selama ini di institusi mereka orang-orang yang semangat kuat pemberantasan korupsi tidak difasilitasi," tutup Ray
Sementara itu, Pengamat politik Arif Susanto mengatakan, pihaknya melihat bahwa dalam 10 tahun terakhir, pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung stagnan akibat hal tersebut.
"Dalam 5 tahun terakhir, sulit menemukan terobosan (pemberantasan korupsi). Kalau kita periksa nawa cita, agenda pemberantasan korupsi luar biasa. Tapi aspek ini cenderung mandeg sehingga hal pertama yang harus dilakukan adalah menghentikan Yasonna dan Prasetyo. Tapi itu tidak dilakukan," kata Arif.
Baca Juga
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan lemahnya pemerintahan Jokowi saat ini. Bahkan dalam hal ini pemerintahan Jokowi juga dinilainya sama dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam posisinya terhadap KPK.
Dia menilai, keduanya selalu berlindung dibalik prinsip bahwa penegakan hukum tidak boleh diintervensi oleh kekuatan politik manapun.
"Buktinya ada upaya bukan hanya melemahkan tapi mengarah pada pembubaran KPK. Konflik antara KPK dengan lembaga penegak hukum lain," kata dia.
Menurut dia, Jokowi dan SBY tidak menunjukkan keberpihakannya kepada KPK dan malah bersikap bersih tangan dengsn menghindari intervensi politik. Padahal, kata dia, intervensi politik juga dibutuhkan untuk menunjukkan komitmen pemerintahan dalam pemberantasan korupsi. (Knu)