Oknum Polisi yang Banting Mahasiswa Diminta Diadili di Depan Publik

Kamis, 14 Oktober 2021 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Insiden anggota Polresta Tangerang Brigadir NP membanting MFA (21), seorang mahasiswa yang berunjuk rasa di depan kantor Bupati Tangerang tak henti-hentinya menuai kecaman.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, membanting seorang peserta aksi damai seperti yang terlihat dalam rekaman video jelas merupakan penggunaan kekerasan yang berlebihan.

Baca Juga

Imbas Polisi Banting Mahasiswa, Kapolri Diminta Tes Psikologi Anak Buahnya

"Pelanggaran seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf saja," kata Usman dalam keteranganya, Kamis (14/10).

Usman menuturkan, pihak berwenang harus segera menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak. "Dengan bukti-bukti hasil investigasi itulah, pelaku harus diadili di pengadilan umum yang adil dan terbuka bagi masyarakat," jelas Usman.

Ia menambahkan, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat ini bukan sesuatu yang hanya terjadi sekali.

Dalam rangkaian demonstrasi terhadap revisi UU Otsus Papua yang terjadi pada bulan Juli dan Agustus lalu, Amnesty International menemukan bukti-bukti penggunaan kekuatan secara berlebihan terhadap pengunjuk rasa.

Sementara selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober 2020, Amnesty juga mencatat ada setidaknya 402 dugaan kasus kekerasan polisi di 15 provinsi.

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Segala bentuk penyiksaan telah secara tegas dilarang dalam berbagai instrumen perlindungan HAM, contohnya dalam Pasal 7 ICCPR.

Peristiwa seorang anggota polisi membanting mahasiswa saat berdemo di halaman Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Tigaraksa, Rabu (13/10). (Foto: MP/Twitter)
Peristiwa seorang anggota polisi membanting mahasiswa saat berdemo di halaman Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Tigaraksa, Rabu (13/10). (Foto: MP/Twitter)


Ia mengingatkan, prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO) juga mengatur prinsip yang perlu diikuti aparat penegak hukum dalam menggunakan kekuatan: asas legalitas, keperluan, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Larangan penyiksaan juga sudah diatur dalam konstitusi Indonesia. Hak untuk tidak disiksa dilindungi dalam Pasal 28I UUD 1945 serta Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mewajibkan setiap anggota polisi untuk menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip HAM.

Usman meyakini, kejadian-kejadian seperti ini akan terus berulang jika setiap insiden dianggap selesai dengan permintaan maaf atau sanksi administratif saja.

"Jika Polri ingin dilihat masyarakat sebagai institusi humanis, maka pelaku harus melalui proses hukum yang adil, dan langkah-langkah nyata harus diambil untuk mencegah kejadian serupa," sebut Usman.

Sekedar informasi, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan kantor Bupati Tangerang di di kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Tigaraksa, Banten.

Aparat kepolisian membubarkan unjuk rasa tersebut setelah terjadi dorong-dorongan antara demonstran dan polisi. Dalam video yang direkam saat pembubaran, seorang anggota kepolisian terlihat membanting salah satu mahasiswa ke tanah.

Mahasiswa tersebut terlihat mengalami kejang-kejang setelah dibanting. Pada malam harinya, anggota polisi yang membanting mahasiswa menyampaikan permintaan maafnya atas kejadian tersebut. (Knu)

Baca Juga

Aksi Kekerasan Oknum Polisi di Tangerang, Konsep Presisi Kapolri Dipertanyakan

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan