Negara Alami Defisit di Awal Tahun, Sinyal Keras Indonesia Hadapi Tekanan Berat
Kamis, 13 Maret 2025 -
MerahPutih.com - Untuk pertama kalinya sejak 2021, APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Padahal, tahun lalu pada periode yang sama, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp 26,04 triliun.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, defisit di awal tahun menandai perlunya langkah untuk reformasi fiskal.
Selain defisit, tantangan kinerja fiskal di awal tahun ini juga diikuti dengan pendapatan negara dan penerimaan pajak yang menurun.
Data APBN edisi Februari 2025 mencatatkan pendapatan negara sebesar Rp 316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini. Jika dibandingkan periode yang sama pada 2024, angka ini turun drastis sebesar 20,85 persen, dari sebelumnya Rp 400,4 triliun.
Baca juga:
Penerimaan Pajak 2024 di Bawah Target, Kabinet Prabowo Terancam Defisit APBN
"Penurunan ini merupakan sinyal keras bahwa fondasi fiskal Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, bahkan sebelum memasuki kuartal kedua tahun anggaran,” kata Achmad.
Ia memaparkan, hal sama dengan penerimaan pajak yang tercatat Rp 187,8 triliun atau 8,6 persen dari target, turun drastis 30,19 persen dari capaian Februari 2024 yang sebesar Rp 269,02 triliun.
Implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang diluncurkan sejak 1 Januari 2025, menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pemungutan pajak.
"Coretax yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi perpajakan justru menghadirkan tantangan baru. Banyak wajib pajak kesulitan melaporkan dan membayar pajak, yang berdampak pada anjloknya penerimaan pajak," jelasnya.
Sebaliknya, belanja negara hingga Februari 2025 tetap berada di level tinggi, yakni sebesar Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target. Meski secara nominal sedikit lebih rendah dibandingkan belanja pada Februari 2024 yang mencapai Rp 374,32 triliun.
"Besarnya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, termasuk belanja sosial, subsidi, hingga program lainnya membuat tekanan fiskal kian berat," kata ujarnya dikutip Antara. (*)