Moana, Upacara Menyambut Kelahiran Bayi Suku Pamona di Sulawesi
Kamis, 05 Januari 2023 -
MASYARAKAT Indonesia memiliki beragam cara dan tradisi unik untuk merayakan kelahiran bayi di setiap daerah. Salah satunya tradisi yang dilakukan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan bernama Moana.
Ya, kamu mungkin pernah mengetahui nama ini yang menjadi salah satu judul film animasi Disney. Namun di daerah tersebut, Moana merupakan sebuah tradisi yang dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara Moana dilakukan sebagai tanda rasa syukur dengan harapan membawa kebaikan bagi sang bayi.
Sejak dulu, nenek moyang Suku Pamona di Sulawesi melakukan tradisi Moana dan masih diwariskan secara turun temurun. Sang bayi yang melakukan upacara Moana diharapkan selalu dikaruniai keselamatan dan kesehatan.
Tradisi ini mencakup dua hal pokok, yakni pemotongan atau perawatan tumbuni (plasenta) dan upacara naik umbu (ayunan). Serangkaian upacara menjadi ciri khas dari tradisi Moana. Setelah kelahiran dilaksanakan pemotongan yang dilakukan oleh topopanuju (dukun adat yang membantu persalinan) dan perawatan tumbuni.
Baca juga:
Jatkarma Samskara, Upacara Menyambut Kelahiran Bayi dalam Budaya Hindu Bali

Biasanya pasangan Suku Pamona baru membangun rumahnya sendiri setelah memiliki dua sampai tiga anak. Sepuluh hari menjelang hari kelahiran, undangan kepada sanak saudara mulai disebar untuk menghandiri Upacara Moana.
Sang pemilik hajat harus menyiapkan seperangkat sirih pinang (sirih, pinang, tembakau, kapur, dan wompo/ tempat sirih pinang) seperangkat piring adat, dan tembale. Tembale adalah ruangan khusus untuk melaksanakan Upacara Moana, proses pembuatannya juga dipimpin oleh topopanuju dan to tua ada’ (ketua-ketua adat).
Selain itu, Ayam, beras ketan, telur ayam, air bersih, sembilu (kulit buluh tajam), satu lembar mbesa (kain adat), lalu seperangkat parang dan tombak juga harus dipersiapkan.
Baca juga:
Ragam Budaya pada Prosesi Upacara Bayi dan Kematian di Indonesia

Upacara Moana diawali dengan memotong tumbuni, sebelumnya topopanuju mengurut-urut tumbuni dan memandikan sang jabang bayi.
Lalu piring adat diletakkan di bawah tali pusat yang akan dipotong, sebelumnya mantera-mantera dibacakan untuk keselamatan sang bayi, dan dipotonglah tali pusat dengan sembilu. Rangkaian prosesi tersebut dilakukan di tembale yang letaknya dekat kamar sang ibu.
Di saat yang bersamaan, keluarga dan semua tamu yang hadir membunyikan semua benda-benda yang ada di sekitar tempat upacara pemotongan tali tumbuni. Itu dilakukan dengan harapan agar sang bayi terhindar dari segala gangguan roh halus.
Rangkaian upacara yang kedua adalah naik umbu atau ayunan. Selama tujuh hari sang jabang bayi berada dalam umbu dengan didampingi topopanuju, ibu, dan keluarganya. Selama adat naik umbu, kaki bayi tidak boleh menyentuh tanah, karena berisiko diganggu makhluk halus atau 'kakaknya'. (*)
Baca juga: