Menteri Nadiem Beberkan Soal Pandemi Kekerasan Seksual di Kampus

Jumat, 12 November 2021 - Zulfikar Sy

MerahPutih.com - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan data survei yang menyebutkan sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.

Dari data itu juga, sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya pada pihak kampus.

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyatakan hal tersebut sebagai fenomena gunung es, jika digaruk sedikit fenomena kekerasan seksual terjadi di semua kampus. Dengan kata lain, katanya, Indonesia berada pada situasi darurat kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Baca Juga:

Cara Tepat Bersikap Kepada Penyintas Pelecehan Seksual

“Bisa dibilang situasi gawat, kita bukan hanya mengalami pandemi COVID-19 tetapi juga pandemi kekerasan seksual," katanya saat peluncuran Merdeka Belajar episode 14 : Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual yang dipantau di Jakarta, Jumat (12/11).

Dia melanjutkan, data dari Komnas Perempuan menyebutkan kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Sebanyak 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di ajang pendidikan tinggi.

“Pemerintah perlu mengambil langkah melindungi dosen dan mahasiswa maupun tenaga kependidikan dari kekerasan seksual,” imbuh dia.

Nadiem menambahkan, kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang pada korban.

Dia memberi contoh bagaimana seorang mahasiswi yang mengalami kekerasan seksual di kampus, mencoba melapor tetapi tidak ditanggapi, depresi dan akhirnya meninggalkan kampus.

Baca Juga:

Relasi Kuasa Bikin Mahasiswa Rentan Alami Kekerasan Seksual di Kampus

Mendikbudristek menegaskan bahwa tidak mungkin kampus dapat menyediakan pembelajaran yang berkualitas, jika dosen, mahasiswa maupun tenaga kependidikan tidak merasa aman dan nyaman. Dampak dari satu kejadian bisa dirasakan seumur hidup karena berdampak psikologis seumur hidup.

“Kita sudah memiliki beberapa UU, tetapi memiliki kekosongan pada perguruan tinggi. Kita memiliki UU anak, tapi itu hanya di bawah 18 tahun. Ada UU PKDRT, tapi hanya dalam lingkup rumah tangga, kita punya UU TPPO tapi hanya pada menjerat sindikat perdagangan manusia. Jadi ada kekosongan karena yang belum terlindungi usia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjebak sindikat perdagangan manusia,” terang dia, dikutip Antara.

Untuk itu perlu adanya aturan yang spesifik dan khusus dalam melindungi warga kampus. Dia juga menyebut ada beberapa keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dalam KUHP saat ini yakni tidak dapat memfasilitasi identitas korban yang tidak diatur peraturan lain, tidak mengenali kekerasan berbasis gender online (KGBO) dan hanya mengenali bentuk perkosaan dan pencabulan.

Padahal civitas akademika dan tenaga kependidikan sangat rentan mengalami KBGO karena rentang usia tersebut pengguna aktif media sosial dan juga perkuliahan di kala pandemi COVID-19 banyak dilakukan secara daring. (*)

Baca Juga:

Alasan Muhammadiyah Tuding Permen Menteri Nadiem Dukung Seksual Bebas di Kampus

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan