Mengenal Ritual Bulan Pahit ala Sumba Barat

Senin, 15 Oktober 2018 - Zaimul Haq Elfan Habib

PARA Rato Marpapu serentak melaksanakan semedi. Mereka bersama menentukan waktu dimulainya sebuah bulan yang dianggap sakral bagi penduduk Sumba Barat. Mereka menyebutnya wulla Poddu. wulla berarti bulan dan poddu berarti pahit. Jadi secara harafiah wulla poddu berarti bulan pahit.

Penetapan waktu masuknya Wulla Poddu tidak berdasarkan kalender masehi, tapi berdasarkan perhitungan yang mengacu pada gejala alam dan benda langit, terutama bulan. Jenis dan waktu penyelenggaraan ritual pun tidak selalu sama antara kampung yang satu dengan kampung lainnya.

Pertanda masuknya Wulla Poddu diawali dengan tradisi yang unik. Para Rato datang ke lokasi dari kampung Geila Koko untuk pembaca bulan. Ia datang untuk menyerahkan kaleku, tas tradisional khas Sumba berisi sirih dan pinang dan dengan itu Wulla Poddu pun dimaklumkan. Ritual ini sering disebut Deke Ana Kaleku.

Sebuah Ritual dalam acara Wulla Poddu. (Foto/Screen Shoot YouTube)
Sebuah Ritual dalam acara Wulla Poddu. (Foto/Screen Shoot YouTube)

Setelah para Ratu memaklumkan Wulla Poddu, acara dilanjutkan dengan ritual Tubba Ruta atau cabut rumput. Ritual ini berlangsung di sebuah gua kecil tak jauh dari kampung. Gua tersebut sangat disakralkan karena di dalamnya tersimpan guci keramat bernama Dinga Leba yang merupakan objek utama pemujaan untuk mandapatkan berkat marapu.

Upacara bersih-bersih rampung. Sorenya, masyarakat setempat melaksanakan Kaleisuna atau penyampaian undangan oleh rato yang berperan sebagai Ina-Ama kepada rato-rato lain. Biasanya rato lainnya ini bermukim di kampung Tambera untuk mengikuti acara Tauna Marapu. Undangan sampai ke tujuan.

dua nakete
Ritual Dua Na Kamete. (Foto: kemdikbud.go.id)

Sekejap kemudian, para rato-rato datang membuat forum musyawarah untuk membicarakan persiapan pelaksanaan Wulla Poddu. Pada kesempatan ini dilakukan upacara pemujaan (noba) dengan menyembelih sejumlah ayam milik kabisu-kabisu yang terlibat. Usus masing-masing ayam diperiksa, jika bentuknya bagus maka kabisu yang bersangkutan akan mendapat panen yang bagus pula.

Setelah itu, dilakukan pula ritual pemotongan pohon pelindung dari jenis tertentu yang harus memiliki delapan tumpuk ranting. Pohon ini agak susah dicari, biasanya di hutan-hutan yang ada di sekitar kampung. Setelah ditemukan, harus dipotong saat itu juga lalu digotong ke kampung untuk ditanam di dekat Natara Poddu. Pohon ini dipercaya akan memberi perlindungan dan kemakmuran bagi warga selama satu tahun penuh.

"Karena ditanam tanpa akar pohon ini tentu akan mengering dan daun-daunnya bakal berguguran. Proses alamiah yang biasa saja tapi bagi warga kampung dipandang sebagai suatu indikasi," tulis Dupa bewa dalam penelitiannya yang berjudul 'Makna Tuturan Wulla Poddu pada Masyarakat Sumba Barat Kecamatan Loli Desa Tana Rara'.

Setelah ritual ini, masuklah ke acara selanjutnya yakni musyawarah kedua. Dalam forum ini yang dibahas adalah memutuskan apakah ritual-ritual Wulla Poddu berikutnya akan dilaksanakan di dalam rumah (kabu kuta) ataukah di halaman. Kegiatan ini dilaksanakan sembari makan Ubi.

Acara bersih-bersih kedua juga dilaksanakan. Yakni, Toba Wanno sebuah ritual yang bertujuan membersihkan kampung dan warganya dari penguasaan roh-roh jahat. Menurut rato bagian atas tambur aslinya terbuat dari kulit manusia, namun karena telah rusak dimakan usia maka sekarang ini diganti dengan kulit kerbau persembahan.

Di malam hari saat anak-anak berkumpul di acara natara podu, mereka juga melakukan nyanyian. Ritual yang disebut Woleka Lakawa berlangsung setiap malam hingga tiba ritual selanjutnya.

wull apoddu
Ritual Deke Kawuku. (Foto: kemdikbud.go.id)

Sesui namanya Rega Kulla merupakan ritual penyambutan tamu adat yang terdiri dari serombongan rato dari kampung Tambera. Para kulla datang ke kampung Tana Rara yang berjarak sekitar 6 km dengan menunggang kuda, dan konon katanya disertai anjing- anjing Marapu yang tak kasat mata. Mereka akan tinggal selama tiga hari dan selama waktu itu melakukan perkunjungan ke kampung-kampung sekitar, lalu mengikuti perayaan di gua suci.

"Tujuan inti dari kedatangan mereka memang untuk mengambil simbol berkat di gua tersebut. Di masa silam, rato-rato Tarung turut menjadi kulla di Tambera. Namun akibat perselisihan yang terjadi pada tahun 1970an mereka tidak lagi ikut serta dan mengambil berkat ditempat tersendiri," tulis penelitian tersebut.

Selanjutnya, saatnya ritual rato-rato datang lagi. Ritual ini dilakukan oleh rato-rato selama berdiam di Tana Rara. Pada hari pertama mereka berkunjung ke kampung Geilakoko. Dihari kedua mereka berkunjung ke kampung Ketoka.

Setelah ritual-ritual di atas selesai, masuklah ke ritual inti. Ritual Sangga kulla namanya atau pengambilan berkat di gua suci. Sekitar jam tiga sore, rato-rato Tambera, kulla Bondo Maroto dan seluruh warga kampung berangkat menuju gua suci. Tapi hanya para rato yang diijinkan masuk ke dalam gua, dan hanya dua di antara mereka yaitu Rato Rumata dan Rato Wee Lowo yang boleh mendekati Dinga Leba (guci keramat).

Usai ritual-ritual selesai, acara Wulla Poddu ditutup dengan Kalango Lado atau puncak perayaan wulla poddu yang berlansung dari pagi hingga pagi berikutnya. Perayaan dimulai dini hari dengan pementasan tarian di natara podu. Lalu pada jam tujuh pagi sebagian Rato Tambera berangkat ke kampung-kampung sekitar untuk menghadiri upacara penutupan wulla poddu di kampung-kampung tersebut. (*)

Baca Juga:Seru dan Menegangkannya Pasola di Sumba

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan