Mekanisme Penerapan Restorative Justice, Dilakukan Mulai Tingkat Penyelidikan
Selasa, 23 Desember 2025 -
MerahPutih.com - Penerapan restorative justice atau keadilan restorative dipastikan bakal dapat diterapkan pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun ketika sudah menjalani hukuman.
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej menegaskan, restorative justice di tahap penyelidikan. Penerapan ini, kata Eddy, bisa dilakukan jika pihak terlapor mau memaafkan pelapor asalkan mengganti kerugian atau mengakui kesalahan yang dilakukan.
Eddy mengilustrasikan kasus penipuan sebesar Rp1 miliar. Ia lalu melaporkannya ke polisi. Kemudian saat dilakukan penyelidikan oleh polisi, pihak korban mau memaafkan pelaku penipuan asalkan mengembalikan uangnya, makan akan memenuhi ketentuan untuk restorative justice.
“Yang penting, lo kembalikan Rp 1 miliar. Saya kembalikan Rp 1 miliar. Itu restorative bukan? Restorative. Di mana? Di penyelidikan. Yang penting, begitu dia restorative, dia harus memberitahukan kepada penyelidik dan itu diregister. Sebab apa? Syarat restorative jelas begitu. Yang pertama, adalah persetujuan formal,” Eddy dalam kuliah hukum Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk 'Kupas Tuntas KUHP dan KUHAP Nasional’ di Jakarta, Selasa (23/12).
Baca juga:
Wamenkumham: RUU Penyesuaian Pidana Harus Tuntas sebelum KUHP Nasional Berlaku
Eddy menuturkan, restorative justice juga hanya berlaku kepada yang pertama kali melakukan tindak pidana. Selain itu ancaman pidana tidak boleh lebih dari 5 tahun penjara.
Menurutnya, jika syarat tersebut terpenuhi maka penerapan restorative justice bisa dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan setelah ada vonis majelis hakim yang membuat terdakwa dipenjara.
“Di penyelidikan juga boleh. Di penuntutan boleh, di persidangan boleh. Bahkan sudah masuk di Lembaga Pemasyarakatan, boleh. Nah itu, bisa bagian dari restorative. Jadi dia kemudian, bagaimana untuk restoratifnya? Diberi revisi. Jadi jangankan di penyelidikan, dipelaksanqan pun bisa,” lanjutnya.
KUHAP baru mengatur mekanisme penerapan restorative justice (JC). Mekanisme RJ dapat digunakan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III atau penjara paling lama 5 tahun.
Tindak pidana yang pertama kali dilakukan dan/atau bukan merupakan pengulangan tindak pidana, kecuali terhadap tindak pidana yang putusannya berupa pidana denda atau pidana yang dilakukan karena kealpaan.
“Dalam hal belum terdapat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan laporan korban dilakukan mekanisme Keadilan Restoratif pada tahap penyelidikan berupa kesepakatan damai antara pelaku dan korban,” begitu bunyi Pasal 80 ayat (2) KUHAP baru.
Pengajuan RJ bisa dilakukan melalui 2 cara. Pertama, permohonan yang diajukan pelaku tindak pidana, tersangka, terdakwa, atau keluarganya, dan/atau korban tindak pidana atau keluarganya. Kedua, penawaran dari penyelidik, penyidik, penuntut umum, atau kepada korban dan tersangka.
RJ dilakukan tanpa tekanan, paksaan, intimidasi, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan yang merendahkan kemanusian terhadap tersangka, terdakwa, korban, dan/atau keluarganya.
Mekanisme RJ dikecualikan untuk 9 jenis tindak pidana. Pertama, tindak pidana terhadap keamanan negara, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, tindak pidana ketertiban umum, dan tindak pidana kesusilaan. Kedua, terorisme. Ketiga, korupsi. Keempat, kekerasan seksual. Kelima, pidana yang diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih, kecuali karena kealpaannya.
Keenam, tindak pidana terhadap nyawa orang. Ketujuh, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus. Kedelapan, tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat. Kesembilan, tindak pidana narkotika kecuali yang berstatus sebagai pengguna atau penyalahguna. (Pon)