Lelah dengan Pandemi COVID-19 akan Memunculkan Pandemic Fatigue

Senin, 22 Maret 2021 - Muchammad Yani

ISTILAH pandemic fatigue mulai muncul dikala sebagian masyarakat mulai jenuh untuk mengikuti protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Menurut sosiolog Universitas Indonesia (UI) Daisy Indira Yasmine, S.Sos, M.Soc, Sci pandemic fatigue terjadi karena kelelahan psikis.

Dilansir dari Antara, Senin (22/3) selama setahun masyarakat Indonesia telah berusaha beradaptasi dengan kondisi yang tercipta. Mulai dari cara bersosialisasi hingga menjaga kebersihan dan kesehatan. Namun, tak jelasnya kapan pandemi berakhir membuat sebagian masyarakat kelelahan.

Baca juga:

Peluang Pendidikan Tinggi di Masa Pandemi COVID-19

"Pandemic fatigue pun tidak muncul secara terus-menerus, melainkan datang dan pergi sesuai dengan pengalaman yang dirasakan seseorang dalam pandemi COVID-19," kata Daisy dalam 'Refleksi Setahun Pandemi: Masyarakat Semakin Abai atau Peduli'.

Pandemi fatigue tak muncul secara terus menerus. (Foto:  Pixabay/coyot)
Pandemi fatigue tak muncul secara terus menerus. (Foto: Pixabay/coyot)

Daisy juga mengatakan jika pandemic fatigue bisa dialami oleh siapa saja. Salah satu ciri orang terkena pandemic fatigue ialah merasa sangat bosan dan cenderung pasrah dengan keadaan. Orang tersebut tak peduli lagi akan terkena COVID-19 atau tidak.

"Ada juga efek dari pandemic fatigue ini yang justru jadi stres karena tekanannya terlalu kuat untuk melakukan perubahan, terus tidak bisa menjalani hidup kemudian tidak jelas kapan akan berakhir, ini malah akan mengganggu kesehatan mentalnya akhirnya," tutur Daisy.

Baca juga:

Jangan Hanya Andalkan Vaksinasi, Perkuat Juga Daya Tahan Tubuh

Di Indonesia sendiri, banyak masyarakat yang sudah mengalami pandemic fatigue. Hal ini ditandai dengan naik turunnya kasus postifir COVID-19.

Pemerintah harus buat regulasi yang tepat sasaran. (Foto: Pixabay/zhugher)
Pemerintah harus buat regulasi yang tepat sasaran. (Foto: Pixabay/zhugher)

Oleh karena itu, menurut Daisy, perlu adanya regulasi yang berfokus pada manusia dan masyarakat, melakukan penelitian dan pengumpulan data agar bisa menentukan kebijakan yang tepat sasaran. Kemudian, melibatkan anggota masyarakat dan komunitas sebagai bagian dari resolusi bukan objek kebijakan.

Edukasi tentang penyebaran dan penularan COVID-19 juga sangat diperlukan. Terakhir pembuat kebijakan juga harus memahami kesulitan hidup dan dampak yang dialami anggota masyarakat, atau membuat regulasi khusus bagi mereka yang sangat terdampak. (Yni)

Baca juga:

Awas, Jangan Umbar Sertifikat Vaksin di Media Sosial

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan