Kritik Telegram Kapolri, Ketua Jurnalis Jakpus Minta Polisi Berbenah Bukan Ngurusin Pers

Selasa, 06 April 2021 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Peraturan Kapolri yang melarang media menampilkan unsur kekerasan aparat dan penangkapan pelaku kejahatan jadi kecaman media massa.

Ketua Jurnalis Jakarta Pusat, Komarudin Bagja Arjawinangun menilai, telegram Kapolri mengekang kebebasan insan pers dalam mencari fakta.

"Kami juga tahu batasan mana yang boleh dipublikasikan mana yang tidak," kata Bagja kepada MerahPutih.com di Jakarta, Selasa (6/4)

Bagja menuturkan, di era keterbukaan informasi publik seperti saat ini, harusnya dimanfaatkan oleh kepolisian untuk berbenah.

"Harusnya Polisi berbenah menjadi lebih baik, transparan, profesional dan humanis. Bukan malah mengurusi soal teknis peliputan pers yang saat ini sudah baik," jelas Bagja.

Telegram Kapolri
Telegram Kapolri soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan. Foto: Istimewa

Bagja melanjutkan, selama ini, media juga selalu mengedepankan etika dan kode etik jurnalistik dalam melakukan penayangan. Seperti memblur wajah pelaku dan korban hingga tak menampilkan unsur kekerasan.

"Selama ini kami beritakan sesuai aturan," jelas Bagja.

Ia menambahkan, adanya larangan untuk mengikuti proses penangakapan pelaku kejahatan di lokasi, juga sama saja mengancam akses para media televisi untuk mendapatkan informasi.

"Sebab gambar yang normatif seperti hanya menyajikan press rilis juga tak menjual di pemirsa," sebut Bagja.

Ia menuturkan, aturan ini harusnya disikapi secara bijak. "Jika tidak, aturan itu jadi beban bagi temen-temen di lapangan," imbuh Bagja.

Seperti diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Listyo Sigit pada 5 April 2021, ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri di seluruh kewilayahan. Ada 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

Peraturan itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012.

Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri:

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan