KPK: Shelter Tsunami di NTB Tidak Bisa Digunakan
Kamis, 15 Agustus 2024 -
MerahPutih.com - Bangunan tempat evakuasi sementara atau shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB) dikabarkan telah roboh. Bangunan itu diduga kuat tak bisa digunakan lagi.
Hal itu disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait nasib shelter tsunami di NTB. Padahal bangunan itu mestinya dapat berfungsi maksimal saat terjadi bencana.
"Bangunannya sudah sebagian roboh, jadi tidak bisa digunakan," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/8).
KPK mengirimkan tim guna melakukan pengecekan di sana. Asep sendiri sudah menyaksikan foto dari timnya di NTB.
“Ini sedang dikirim timnya, tapi yang jelas sesuai foto-foto yang saya lihat, mungkin juga rekan-rekan pernah (lihat) fotonya," ujar Asep.
Baca juga:
KPK Ungkap Waskita Karya Kontraktor Proyek Korupsi Shelter Tsunami NTB
Asep menyebut tim penyidik KPK menghimpun bantuan dari para ahli di bidangnya. Mereka diharapkan KPK dapat memberi gambaran.
“Nanti kalau terkait dengan masalah bahan bangunan dan lain-lain akan (diperiksa) oleh ahli, karena kita mendatangkan ahli ya, ahli konstruksi maupun ahli penghitungan kerugian negara,” ujar Asep.
Sebelumnya, tim penyidik KPK bersama auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pemerintah (BPKP) melakukan pengecekan fisik terhadap shelter tsunami di NTB, Kamis (8/8). Pengecekan ini guna penghitungan kerugian keuangan negara.
Walau demikian, KPK ogah memberikan kabar terbaru dari kegiatan itu. Dalam proses penyidikan berjalan, KPK telah menjadwalkan pemeriksaan sejumlah saksi-saksi.
Mereka adalah D selaku Staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB; RT selaku Kepala Kantor BPBD Lombok Utara tahun 2015; KH selaku Kepala BPKAD Kabupaten Lombok Utara periode 2014-2015; dan R selaku Direktur Utama PT Utama Beton Perkasa.
Baca juga:
KPK Duga Negara Rugi Rp 20 Miliar Akibat Korupsi Shelter Tsunami NTB
Berikutnya RB selaku Direktur PT Barokah Karya Mataram; Sardimin selaku Kepala Dinas PU Provinsi NTB (Mantan Kabid Cipta Karya Dinas PU Provinsi NTB); MT selaku perwakilan dari PT IA; dan IMA selaku Kepala BPBD Lombok Utara tahun 2018.
KPK tercatat sudah menetapkan dua orang sebagai tersangka tapi belum mengumumkan identitas mereka. KPK baru mengumumkannya bersamaan dengan konstruksi lengkap perkara pada saat penahanan dilakukan. Kasus ini ditaksir merugikan keuangan negara sekitar Rp 19 miliar. (Pon)