Komisi Kejaksaan Hormati Putusan MK soal Pembatasan Imunitas Jaksa
Jumat, 17 Oktober 2025 -
MerahPutih.com - Komisi Kejaksaan (Komjak) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 8 ayat (5) yang mengatur soal imunitas atau kekebalan hukum jaksa.
Ketua Komjak, Pujiyono Suwadi, mengatakan pihaknya akan melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya. Ia menilai prinsip perlindungan hukum bagi penegak hukum tetap harus dijaga, namun keputusan MK perlu dihormati sebagai bentuk penegakan prinsip konstitusional.
“Karena itu sudah menjadi norma, tinggal dilaksanakan saja. Prinsip Pasal 8 Ayat 5 kan perlindungan bagi penegak hukum, tapi ketika MK punya pendapat lain ya kita hormati, tinggal dilaksanakan saja,” ujar Pujiyono saat dikonfirmasi, Jumat (17/10).
Baca juga:
Komjak Minta Kejagung Buru Aset-aset Besar Milik Tersangka Kasus PT Timah
Putusan MK dalam perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025 resmi membatasi imunitas jaksa, terutama dalam konteks penegakan hukum kasus operasi tangkap tangan (OTT) dan tindak pidana kejahatan berat.
Artinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa tidak lagi memerlukan izin Jaksa Agung dalam kasus OTT maupun dugaan tindak pidana kejahatan berat.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pengecualian izin Jaksa Agung berlaku dalam hal tertangkap tangan atau dugaan tindak pidana kejahatan berat, seperti kejahatan yang diancam hukuman mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Putusan ini sekaligus menggeser pendirian MK dari putusan sebelumnya, yakni Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013, yang sebelumnya memberi ruang lebih luas terhadap imunitas jaksa.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menegaskan, perlindungan hukum terhadap jaksa tidak boleh bersifat absolut dan harus tetap tunduk pada prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
“Jaksa perlu diperlakukan tidak berbeda, tetap mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana prinsip internasional, namun perlindungan itu tidak bersifat absolut,” kata Arsul saat membacakan pertimbangan di Gedung MK, Kamis (16/10).
Baca juga:
Komjak Nyatakan Produk Jurnalistik, Senegatif Apa pun tak Bisa Dijadikan Delik Hukum
MK menjelaskan, meskipun secara internasional jaksa berhak atas perlindungan hukum sebagaimana tertuang dalam UN Guidelines on the Role of Prosecutors (1990) dan The Status and Role of Prosecutors (2014), perlindungan tersebut tidak boleh melampaui prinsip kesetaraan di depan hukum.
“Baik antara warga negara dengan penegak hukum maupun antara sesama penegak hukum itu sendiri seharusnya tetap terikat dengan prinsip equality before the law,” lanjut Arsul.
Sebagai tindak lanjut, MK mengubah bunyi Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan menjadi:
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.” (Pon)