Kisah Pelajar Indonesia Berjuang Menghadapi Corona di Tiongkok
Selasa, 10 Maret 2020 -
VIRUS Corona meresahkan dunia selama beberapa bulan terakhir. Virus asal Wuhan ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dilansir dari Reuters, telah dikonfirmasi pada Senin (10/3) bahwa terdapat tambahan dua orang yang positif terjangkit virus Corona, sehingga total korban virus Corona di Indonesia bertambah menjadi 27 orang.
Virus Corona ini juga berdampak pada WN Indonesia yang menempuh ilmu di Tiongkok. Salah satunya Nadya Permata Kristi. Mahasiswi yang berkuliah di Shanghai Jiao Tong University jurusan Chinese Language ini memiliki pengalaman menarik seputar situasi yang disebabkan oleh virus Corona. Bertempat tinggal di Shanghai, ibukota China, pengalamannya diharapkan bisa menambah wawasan masyarakat sekaligus mengklarivikasi hoax yang misleading.
Baca juga:
Jangan Salah Kaprah, Berikut Info Seputar Corona Menurut Ahli Kesehatan
Pertama kali Mendengar Tentang Virus Corona dan respon masyarakat

"Waktu awal dengar tentang virus ini itu sekitar menjelang natal," jelas Nadya. Dia melihat masyarakat Tiongkok masih santai menghadapi virus Corona. Kegiatan masih berlangsung dengan normal dan tidak ada yang memakai masker. Meskipun begitu, keadaan menjadi parah sejak menjelang Chinese New Year, karena semua orang pulang kampung.
Sikap Masyarakat Terhadap Corona
"Karena tinggal di Shanghai, hebatnya masyarakat di Shanghai sangat disiplin. Jadi waktu pemerintah menghimbau semua untuk pakai masker, semua langsung nurut. Bahkan kalau kita naik Didi (nama perusahaan transportasi online di Tiongkok), akan muncul pertanyaan di layar HP kita, apakah supir menggunakan masker? Dan kita harus menjawab. Jadi memang terorganisir banget sih," ungkapnya.
Upaya pemerintah China menangani virus Corona

Di Shanghai, pemerintah cukup cepat mengambil keputusan untuk lock down kereta, ia mengatakan bahwa tidak ada yang diperbolehkan masuk Shanghai. Ini membuat orang-orang yang pulang kampung terjebak di sana.
"Kalau kita tak pakai masker, tidak boleh pakai fasilitas umum, contohnya enggak boleh masuk Metro (subway). Begitu juga dengan berbagai pusat perbelanjaan dan bandara, selalu ada security di depan yang memegang alat untuk mengecek suhu tubuh. Orang-orang enggak boleh masuk sebelum di cek temperaturnya," cerita Nadya.
Baca juga:
Masker N95 vs Surgical Mask, Mana Lebih Efektif Cegah Penularan Virus Corona?
Masker
Harga masker sangat mahal karena jumlah permintaan yang sangat tinggi. "Karena demand-nya naik, maka harga masker juga memang jadi mahal banget disana. Bahkan masker benar-benar habis. Kalau beli online, isinya udah penipu semua. Kita sudah bayar tapi barangnya ga dianter-anter. Jadi di sana memang krisis masker banget. Banyak juga yang ngambil-ngambilin masker bekas dibikin kayak baru lagi trus dijual. Tapi, sekarang keadaan udah oke, supermarket juga udah restock barang," jelasnya.
"Masker mendadak harganya naik, yang surgical mask 1 biji 5 kuai (Rp10.000) gila kan! Trus gua berusaha cari lagi yang lebih murah. Dan gua ngincer N95 sih karena terlihat lebih firm aja gitu. Akhirnya gua dapat dengan harga 40 kuai (Rp80.000) tapi modelnya kayak masker kain gitu trus dalamnya bisa diganti-ganti lapisan PM 2.5 nya. Trus gua beli satu lagi harganya 66 kuai (Rp132.000) isinya 20 pieces," ungkap Nadya.
Baca juga:
Mpon-Mpon, Olahan Rempah Khas Indonesia Bisa Tangkal Virus Corona?
Respon Generasi Z dan Milenial

Nadya mengatakan bahwa generasi Z dan milenial tidak merasa panik, " Mereka sangat dengerin pemerintah ngomong apa, mereka diam di rumah enggak kemana-mana. Generasi Z dan milenial juga mendengarkan omongan para dokter dan ahli, serta mengikuti metode-metode yang telah diberikan untuk mencegah penyebaran virus Corona."
Aktivitas masyarakat di Tiongkok
Masa libur Chinese New Year yang berakhir pada 24 sampai 30 Januari, diperpanjang oleh pemerintah jadi sampai 10 Februari. Banyak kantor yang memperpanjang liburnya sampai tanggal belasan Februari, bahkan ada yang 20 Februari baru masuk.
"Tapi di Shanghai, situasi udah jauh membaik sekarang. Kantor juga udah mulai pada buka lagi. Tapi sekolah belum, karena sekolah lebih berisiko. Bagi yg kuliah S1 gitu, dibuka kelas online. Udah dimulai dari awal maret kemarin. Begitu juga dengan yang scholarship dan exchange students. Tapi untuk yang sekolah bahasa, semua dipostponed. Belum ada pengumuman lebih lanjut tentang tanggal pasti masuk sekolahnya. Tapi kalau kantor, mau enggak mau harus mulai pada masuk kerja karena kalau enggak perekonomian bisa turun drastis," kata Nadya.
Kerugian
Menurut Nadya, kejadian ini sangat merugikan. "Itu kejadiannya agak di akhir Januari, sedangkan gua ditransfer uang jajan itu akhir bulan untuk bulan berikutnya gitu. Jadi kemarin itu gua sempet kesulitan sih," ungkapnya.
Akhir Januari sampai awal Februari juga menjadi waktu teman-temannya harus pulang sehingga Nadya banyak mengeluarkan uang untuk farewell party (pesta perpisahan).
"Duit gua.... beneran abis. Karena di bulan Januari awal itu gua banyak banget farewell party sama teman-teman. Kan semester kemarin berakhir Januari awal, jadi banyak yang pulang ke negaranya masing-masing dan enggak balik lagi. Jadi sekitar tanggal 20-an yang mulai heboh itu harus nyetok masker, duit gua benar-benar sekarat," jelas nadya.
Baca juga:
Gaya Hidup dan Pola Pikir Generasi Milennial Mengubah Perekonomian Dunia
Kehabisan masker

"Trus pas banget lagi Chinese New Year kan, semua orang libur. Libur tahun baru Cina itu seminggu karena merupakan hari raya terbesar. Ini termasuk kurir juga libur. Jadi barang-barang yang gua pesan di Taobao itu baru bakal dikirim sekitar tanggal 4 atau 5 februari, jadi gua sama sekali enggak punya masker. Tapi untungnya, ada teman bisnisnya Ii (tante) gua di Shanghai, dan dia anterin gua dua masker N95. Jadi lumayan gua ada pegangan dua masker. Kalau enggak, gua benaran mati banget! Dan ternyata libur diperpanjang sama pemerintah sampai tanggal 10 (Februari), gua bakal enggak bisa kemana-mana karena enggak ada masker," cerita Nadya.
Kesulitan mengambil uang

Karena virus Corona yang merebak Nadya jadi takut untuk mengambil uang kiriman dari orangtuanya. "Sebenarnya nyokap gua udah transfer uang jajan untuk Februari. Tapi gua enggak berani ambil," kata Nadya.
Meskipun sudah memiliki masker dari kerabat tantenya, Nadya tetap kesulitan untuk mengambil uang kiriman dari orangtuanya.
"Jadi gua harus ke ATM, ambil duit dari kartu bank, terus masukin ke rekening bank China gua. Nah gua enggak berani ke ATM. Gua udah ada masker sih dari temannya ii gua tapi udah banyak banget berita tentang orang ludah-ludahin fasilitas umum, jadi gua enggak berani ke ATM pencet-pencet tombol," kata Nadya mengungkapkan kecemasannya.
"Gua tuh ada autoimmune, jadi daya tahan tubuh gua enggak sekuat orang normal." Akibat kondisi kesehatannya ini, Nadya menjadi lebih mudah terserang penyakit atau terinveksi virus.
Baca juga:
Cara Nadya bertahan hidup di tengah krisis makanan

Untuk makan sehari-hari bukan perkara yang mudah baginya. "Gua udah enggak berani pesan Waimai (jasa layanan antar makanan online di Tiongkok) karena gua enggak percaya kan sama yang masak. Kalau yang masak kena (Corona) terus bersin atau batuk masuk ke makanannya gimana?"
Selain itu, Nadya juga takut jika makanannya sengaja diludahi sama halnya dengan mereka yang suka meludahi fasilitas umum. "Jadi gua pilih untuk beli makanan kering yang masih ke sealed, rapat gitu, beli online."
Nadya bercerita selama makanan orderannya belum datang, ia hanya bisa bertahan hidup dengan makanan yang ada di tempat kosnya. "Untung pas teman-teman farewell itu, banyak yang nyumbangin makanan instan karena mereka enggak mau bawa pulang ke negaranya. Jadi masih bisa survive, banyak makanan di kos."
Ia bercerita ketika makanan kering yang dipesan sudah sampai, ia membersihkannya satu persatu. "Gua selalu lap semuanya pakai hand sanitizer sebelum dimasukin ke dalam kamar. Plastik luarnya dibuang. Jadi kayak gitu sih cara gua survive."
Bagaimana Corona menggagalkan rencana studi Nadya
Nadya seharusnya merencanakan tidak akan pulang ke Indonesia sampai Juli 2020. "Gua udah bayar sekolah bahasa untuk setahun," ungkapnya.
Meskipun teman-temannya memutuskan untuk pulang ke negaranya karena virus Corona, Nadya memutuskan untuk tetap bertahan di Tiongkok. "Gua enggak berani ke airport. Karena airport sumber penyakit kan. Semua orang kesana, pesawat kan kecil, sirkulasi udaranya bakal disitu-situ doang. Dan flight dari Shanghai ke Jakarta tujuh jam. Kalau sampai ada yang infected, risiko banget bisa ketularan. Jadi bonyok (bapak-ibu) gua juga suruh gua stay disana (Shanghai) aja."
Namun keesokan harinya, ayah Nadya menghubungi dan menyuruh pulang. Karena ada info bahwa tempat bisnis supplier milik kerabat tante Nadya sudah dilock down. Ayahnya takut Shanghai akan dilock down juga.
"Kalau dilock down tuh benar-benar bakal kayak kota mati. Jadi bokap gua mendadak suruh balik. Gua mau beli tiket, tapi udah pada abis waktu itu. Banyak negara yang umumin mereka udah enggak terima penerbangan dari China, termasuk transit pun enggak terima. Jadi waktu itu yang masih open tinggal Malaysia. Satu-satunya jalan, gua pakai MH transit Malay. Garuda masih ada sebenarnya 1 seat, tapi harganya udah enggak ngotak, Rp 28 juta economy class one way. Gila kan. Itu aja gua beli MH 8 juta one way. Tapi, mau gimana lagi? Enggak ada jalan lain!"
Untungnya, Nadya cepat bertindak. Dia sampai Jakarta tepat sehari sebelum flight ditutup. (shn)
Baca juga:
Top! Siswa Sidoarjo Bikin Sendiri 'Hand Sanitizer' Tangkal Corona Namanya Hansalim