Kisah Andi, Penjual Bakso Langganan Keluarga Cendana
Senin, 16 November 2015 -
Merahputih Peristiwa - Saat usianya masih muda, Pak Andi mulai merantau ke Jakarta untuk berjualan bakso keliling. Ia berjualan menggunakan sepeda di Komplek Cendana Menteng, Jakarta Pusat, tempat bermukimnya keturunan mantan Presiden Soeharto.
Pria yang kerap disapa dengan Andi ini mengaku sebagai orang pertama yang berjualan di komplek tersebut. Awalnya, ia hanya menawarkan bakso buatannya kepada para petugas di area rumah Almarhum Presiden Soeharto.
"Dulu waktu tahun 1968 saya jualan bakso keliling di area Komplek Cendana, saya orang pertama yang boleh berjualan di situ dengan menawarkan bakso kepada para pengawal Bapak Presiden yang tengah bertugas," kenang Andi saat ditemui di warungnya, Jln. Cendana Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (15/11).
Andi menjelaskan bahwa mulanya, ia masih berkeliling dengan menggunakan sepeda. Setelah bertugas, para petugas biasanya minta dibuatkan bakso.
"Hampir selesai bertugas, para pengawal Pak Harto mampir dan mulai tertarik dengan bakso buatan saya, mereka juga menjadi pelanggan setia. Kata mereka sih bakso baksa saya enak, ya jelas dalam membuat bakso murni memakai daging dan tidak ada campuran pengawet sedikit pun," tuturnya.
Ketika itu Andi menjual baksonya dengan harga Rp50, mengingat harga daging saat itu masih murah dan bahan baku mudah didapat. Kemudian pelanggannya berlanjut ke keluarga Cendana, termasuk Pak Harto dan Bu Tien semasa hidup.
"Dulu harga jual bakso saya murah dan mengenyangkan, nah dari para penjaga sering memesan bakso, di situlah keluarga Pak Harto mulai sering pesan bakso, seperti Mbak Tutut, Mas Tommy, Mas Bambang, dan sebagainya," jelasnya.
Diakui Andi, setiap kali keluarga Cendana mengadakan acara atau pertemuan bersama kerabat dekat, ia juga sering dipanggil untuk melayani para tamu yang hadir. Tak jarang, tamu kerabat Cendana ini mengagumi cita rasa bakso buatannya.
"Dulu keluarga Pak Harto memesan bakso banyak, kalau mengadakan acara sering dipanggil dan menyediakan bakso bagi para tamu undangan," kenangnya.
Seharinya, Andi mampu mengantongi uang sekitar Rp90 sampai Rp500. Bahkan pernah lebih dari itu.
Sempat Mengalami Masa Sulit >>
Ketika belum berjualan di kawasan Cendana, Andi merasa sangat sulit mencari pelanggan bakso.
"Saya sempat mengalami masa-masa sulit ketika pertama kali berjualan di Jakarta. Bahkan sempat dikejar-kejar trantip saat berjualan di pinggir jalan," tuturnya.
Namun peristiwa tersebut tidak membuat semangat Andi surut. Ia akhirnya memilih berjualan di area Komplek Cendana. Karena kejujurannya dalam mengolah bakso, ia mampu mengambil hati para keluarga Cendana.
Satu porsi bakso buatan Pak Andi ini berisi mie kuning, bihun, tauge dan lima buah bakso besar. Kuah kaldu pada semangkuk bakso Pak Andi juga sangat terasa.
"Saya selalu menjaga resep dan cita rasa bakso ini agar pelanggan yang menikmati bakso ini ingin terus menjajal. Bakso yang saya buat ini juga tidak menggunakan bahan pengawet seperti boraks atau bahan kimia lainnya. Saya jamin rasa boleh diadu dengan bakso yang ada sekarang ini," ujarnya.
Karena kedekatannya dengan beberapa petinggi TNI, usaha bakso yang dirintis Andi mengalami kemajuan pesat. Ia mengaku sempat membuka empat cabang warung bakso, di antaranya di kawasan di Cendana, Mangga Besar, Tanah Abang, dan Pasar Baru.
"Dulu saya sempat memiliki empat warung bakso, tapi karena tidak terus akhirnya tutup. Saya juga kerepotan juga harus keliling mengontrol dagangan saya. Minggu ini ngontrol jualan di daerah Mangga Besar, minggu depan di Tanah Abang, dan seterusnya," jelasnya.
Kondisi perekonomian pun semakin sulit, Andi akhirnya memilih menjalankan usahanya di satu tempat saja.
"Sekarang ini saya hanya jualan di sini saja, karena di tempat yang sebelumnya tidak ada yang mengurus akhirnya tutup," jelasnya.
Selain gerobak bakso, di area tempat berjualan Andi juga terdapat gerobak nasi goreng, etalase pulsa serta warung rokok dengan gerobak.
"Pemilik yang berjualan di sini semuanya keluarga saya dari Kuningan, Jawa Barat," tuturnya.
Penjualan Andi Menurun >>
Andi menambahkan, penjualan saat ini tidak seramai dahulu, pendapatannya juga menurun. "Biasanya saya jualan di trotoar sana bisa sampai lebih 100 mangkok. Sekarang bisa laku 50 mangkok aja bersyukur. Kalau sekarang-sekarang sepi, yah disyukuri aja," ucapnya menguatkan diri.
Namun, pemandangan tersebut bukan kali pertama buat Andi. Ia dan dua kerabatnya sesama pedagang kerap sepi pembeli sejak pindah berjualan ke halaman rumah tua tersebut sejak lima bulan lalu.
Sebelumnya, Andi pernah berjualan bakso di trotoar ujung jalan, tepatnya di pertigaan Jalan Cendana dan Jalan Yusuf Adiwinata.
Namun, seiring pergantian pemerintahan dan lurah setempat, Andi 'dipaksa' pindah dari trotoar jalan tersebut demi ketertiban dan kenyaman lingkungan.
"Tadinya saya dagang di trotoar pertigaan depan jalan. Tapi, setelah lurah diganti, saya dikasih surat dari kelurahan dilarang dagang lagi dan diminta cari tempat lain. Itu beberapa bulan lalu, belum sampai setahun," ujarnya.
Pengalaman yang paling tidak pernah dilupakan Andi pada saat Hari Raya Idul Fitri 1980. Ia diberi kesempatan untuk bersalaman dengan Presiden Soeharto di kediamannya.
"Beberapa hari sebelum Hari Lebaran itu saya diminta sama pegawainya untuk jangan pulang kampung dulu. Karena Bapak mengundang warga-warga ke acara Lebaran di rumahnya itu," kenangnya.
Andi juga mengungkapkan bahwa pada Era Soeharto, ia merasa begitu banyak kemudahan.
"Harga bahan baku semua murah dan stabil mulai dari daging, terigu, beras, dan lain-lain. Keuntungan penjualan bisa mencapai 100 mangkok sehari. Tapi sekarang apa-apa mahal serta keuntungan yang diperoleh tidak seperti dulu," tuturnya. (abi)