Ketakutan Jadi Alasan Masyarakat Mudah Percaya Obat Penyembuh COVID-19
Senin, 10 Agustus 2020 -
MerahPutih.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti maraknya obat yang diklaim bisa sembuhkan virus corona.
Teranyar, artis Anji mewawancarai praktisi kesehatan Hadi Pranoto yang mengaku punya obat penyembuh corona.
Baca Juga:
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, gampang terhasutnya masyarakat tak lepas dari ketakutan terinfeksi COVID-19, dikarenakan belum ada obat atau vaksin.
"Masyarakat juga mengalami tekanan ekonomi yang sangat dalam karena pendapatannya turun, gaji dipotong, dirumahkan, bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)," kata Tulus dalam konferensi pers, Senin (10/8).
Menurutnya, lemahnya literasi masyarakat terhadap produk obat, jamu, dan herbal juga mendorong munculnya obat-obat tersebut.
Di mana masyarakat kurang memahami klaim-klaim obat atau jamu memiliki levelnya masing-masing, yakni menyembuhkan, mengobati, meringankan, membantu meringankan dan lainnya.
Terlebih lagi, belum optimalnya penegakan hukum.
Tulus mengatakan, sebenarnya banyak klaim jamu tradisional atau herbal di media sosial sebelumnya, seperti klaim anti kanker, darah tinggi, asam urat dan lainnya.

Kasus-kasus yang sudah masuk ke ranah hukum mengenai produk herbal yang tidak mengantongi izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), hanya dihukum vonis ringan yang tidak memberi jera bagi pelakunya, akibatnya kasus berulang dan pelakunya masih sama.
"Jalan keluar yang saya rekomendasikan memperbarui politik manajemen penanganan wabah, tak bisa atasi pandemi jangan mimpi ekonomi akan membaik. Mendorong peningkatan literasi masyarakat konsumen terhadap produk obat, jamu tradisional, dan herbal," imbuhnya.
Tulus mengatakan, pihaknya cukup banyak menerima pengaduan konsumen terkait harga masker, hand sanitizer dan obat-obatan di masa pandemi virus corona.
Laporan itu diterima YLKI sejak Maret hingga Juli 2020.
"Memang dominan masalah mulai dari harga masker, hand sanitizer, dan obat-obatan. Itu menempati 33,30 persen ataupun rangking kedua," kata Tulus.
Selain itu, angka pengaduan tertinggi yakni masalah pengembalian dan pengubahan jadwal penyewaan hotel atau transportasi sebesar 38,80 persen.
Baca Juga:
Kemudian ada juga laporan mengenai penumpukan orang di supermarket dan halte bus sebesar 5,50 persen.
Sedangkan pengaduan layanan kesehatan, penghapusan rute transjakarta masing-masing 2,70 persen.
"Masalah layanan kesehatan pun juga cukup lumayan ada 2,7 persen menyangkut masalah layanan di rumah sakit, BPJS Kesehatan ataupun konsumen dan masyarakat yang ditolak rumah sakit karena alasan-alasan tertentu," ujarnya.
Terkait banyaknya pengaduan ini, Tulus berharap pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa memberikan perhatian lebih terhadap masalah tersebut.
"Dan juga terkhusus pada Badan POM, kementerian kesehatan karena ini memang menyangkut masalah kesehatan di masa pandemi ini," ucap dia. (Knu)
Baca Juga:
BPOM Mentahkan Klaim Izin Edar 'Obat Herbal COVID-19' Hadi Pranoto