Kebijakan Kemasan Rokok Polos Bakal Rugikan Ekonomi Indonesia
Kamis, 07 November 2024 -
MerahPutih.com - Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Berdasarkan hasil kajian Indef, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana menyoroti perihal wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.
Baca juga:
Dispora DKI: 1 dari 6 Anak Muda di Jakarta Sudah Mulai Merokok
"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," kata dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hikmahanto menekankan, Indonesia sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pasalnya, kebijakan tersebut dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor.
"Kita adalah negara penghasil tembakau, tetapi justru kebijakan ini bisa membuat produk kita terpinggirkan di pasar internasional," ujarnya.
Ia menegaskan, pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta memperhatikan kepentingan pelaku usaha domestik yang berjuang untuk bersaing di pasar global. Salah satu poin penting yang disoroti Hikmahanto, kebijakan itu dapat merugikan pelaku usaha yang ingin membedakan produk mereka.
"Setiap pelaku usaha berhak untuk bersaing dengan cara menonjolkan identitas merek mereka. Jika identitas itu dihilangkan, bagaimana mereka dapat bersaing?," katanya.
Ia menilai, ada urgensi untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat.
"Jika regulasi ini diterapkan, maka perokok malah akan beralih ke produk ilegal yang tidak terkontrol," ucapnya. (*)