DKPP: Golput Tinggi Bukan Hanya Salah KPU

Rabu, 16 Desember 2015 - Bahaudin Marcopolo

MerahPutih Politik - Nur Hidayat Sardini (NHS) adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pelaksanaan pemilu di tanah air. Publik tanah air mengenalnya sebagai mantan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Setelah masa tugasnya berakhir di Bawaslu kini ia dipercaya sebagai juru bicara Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP), sebuah lembaga kode etik yang menjaga kehormatan penyelanggara pemilu.

Selama lebih dari 20 tahun sosoknya aktif berkecimpung dalam ranah penyelenggara pemilu. Selain sebagai praktisi, ia juga dikenal sebagai akademisi di Universitas Diponegroro, Jawa Tengah. Pria berusia 45 tahun tersebut juga dikenal aktif menulis dalam menuangkan ide dan gagasannya dalam dunia politik dan perkembangan demokratisasi di tanah air. Bahkan kristalisasi idenya sudah dibukukan.

Di sela-sela rutinitas dan kesibukannya yang demikian padat, merahputih.com berhasil menjumpainya dan melakukan wawancara khusus seputar dinamika politik dan pelaksanaan pilkada serentak yang menyita perhatian publik tanah air. Dialog berlangsung interaktif, gayeng dan menyenangkan.

Bapak dari tiga anak tersebut bercerita panjang soal perjalanan demokratisasi di tanah air. Sambil menikmati kopi hangat satu persatu perjalanan pemilu di tanah air di urai olehnya.

"Demokratisasi di tanah air sudah on the track alias berjalan di relnya," katanya dengan tegas kepada Merahputih.com baru-baru ini.

Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah 10 Oktober 1969 memaparkan setelah jatuhnya Orde Baru dan masuknya era reformasi dari tahun ke tahun pelaksanaan pemilu dan demokratisasi di tanah air sudah berjalan baik. Namun demikian bukan berarti tidak ada catatan atau problem selama pemilu di helat, baik pemilu legislatif (Pileg), Pemilu Presiden (Pilpres) hingga pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).

Salah satu masalah yang cukup menyita perhatian selama pilkada tahun 2015 adalah tingginya angka Golput. Salah satunya pilkada Kota Medan dengan angka golput sebesar 73,3persen.

Lantas siapakah pihak yang paling berhak disalahkan dengan rendahnya partisipasi publik dalam pilkada serentak?

Mantan Ketua Panwaslu Jawa Tengah periode 2003 hingga 2004 menjelaskan tingginya angka Golput di banyak daerah di tanah air tidak serta merta murni kesalahan penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menilai sejauh ini KPU di berbagai daerah sudah melakukan kerjanya dengan maksimal. Mereka, sambung Nur juga melakukan cara-cara kreatif untuk menarik simpati publik agar menggunakan hak politiknya memilih pemimpin.

"Jadi tidak murni salah KPU, ada juga peran pasangan calon disini. Dan diatas pasangan calon itu kan ada partai politik," beber Nur.

Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melanjutkan penggunaan hak pilih di Indonesia sifatnya adalah voluntary atau sukarela berbeda dengan pemilu di Ekuador dan Australia yang sifatnya wajib bagi warga negara menyalurkan hak politik dan konstitusionalnya.

Karena sifatnya sukarela maka tidak ada kewajiban bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. Bagi warga negara yang memilih untuk tidak menyalurkan hak politiknya tidak ada hukuman yang diterima warga negara. Kondisi di Indonesia tentu saja berbeda dengan Ekuador dan Australia. Di kedua negara tersebut pemilu sifatnya adalah compulsary yaitu kewajiban. Jika ada warga negara yang enggan atau tidak menyalurkan hak politiknya maka akan ada hukuman yang diterima warga negara.

"Soal Golput apakah publik sudah muak atau apatis dengan pemilu? Ini kan yang jadi pertanyaan. Saya rasa hal ini harus diteliti lebih dalam. Kenapa bisa demikian? Saya rasa ini yang bisa menjawab partai politik," celoteh Nur.

Masih kata Nur, partai politik adalah pilar utama demokrasi di tanah air. Salah satu tugas yang diemban partai politik adalah melakukan rekruitmen dan pendidikan politik, termasuk dalam pilkada serentak.

Partai politik, lanjut Nur harus membuktikan klaim yang mereka sampaikan bahwa mereka memiliki jutaan anggota dan pengikut. Ajang pilkada serentak adalah momentum pembuktian hal tersebut.

"Inilah tugas parpol, KPU kan gak bisa paksa orang buat datang dan salurkan hak politiknya," demikian Nur.

Untuk diketahui pilkada serentak tahap pertama sudah dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 silam. Sebanyak 264 daerah secara langsung dan serentak memilih kepala daerahnya.

Berdasarkan hasil hitung cepat Indo Barometer tingkat partisipasi pemilih di beberapa daerah di tanah air sangat rendah. Bahkan dalam pilkada Kota Medan angka Golput mencapai 73,33 persen, 19.04 persen, sedangkan suara tidak sah 7,63 persen.

Sementara itu berdasarkan hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) angka golput juga ditemukan cukup tinggi di banyak daerah di Indonesia. Di Malang, Jawa Timur, partisipasi pemilih hanya 57,6% atau golput mencapai 42,4%. Angka yang kurang lebih sama juga terjadi di Pilkada Kediri, Jatim, dengan partisipasi pemilih hanya 56,3%.

Di Kota Batam, Kepulauan Riau, tim riset LSI bekerja sama dengan Jaringan Info Publik mencatat partisipasi pemilih yang lebih rendah, yakni 50,24%. Golput di daerah ini mencapai 49,7% atau hampir setara dengan jumlah pemilih yang menggunakan suaranya. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, LSI juga mencatat tingkat partisipasi pemilih yang tergolong rendah, yakni 59,81%.

BACA JUGA:

  1. Di Tengah Keriuhan Politik, Berzikir Jadi Pilihan Babai Suhaimi 
  2. Sebelum Pencoblosan, Dimas Oky Nugroho Ziarahi Makam Ibunya 
  3. KPU Akui Angka Golput Tinggi 
  4. PDIP Akui Masyarakat Banyak yang Golput 
  5. Medan Jawara Golput Pilkada Serentak 2015

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan